Wednesday 3 April 2013

MENJADI KONSUMEN CERDAS, TANPA BASA-BASI




http://ditjenspk.kemendag.go.id/

Banyak hal tiba-tiba terasa menjadi sebuah masalah ketika sebuah kampung kecil yang sunyi, seketika berubah menjadi kota yang perlahan menggeliat. Ada banyak kebiasaan yang mesti dipertaruhkan. Entah atas nama Menyesuaikan diri, atau hanya sekedar Gengsi.
Hal yang sama, berlaku pula untuk desa kami yang dulunya sunyi senyap. Sebuah dusun kecil berpemandangan tak begitu indah di antara Bandung – Sumedang. Dalam sepuluh tahun terakhir, bermunculan super market besar, mall, bahkan apartemen mengelilingi desa sunyi kami. 

Semua itu terjadi, setelah sepuluh tahun sebelumnya, beberapa Universitas besar boyongan pindah ke dusun kami, yang dulunya perkebunan karet nan gersang. Padahal kata orang-orang dulu, tempat itu dulunya tempat jin buang anak.
Dan kini, dusun kami tercinta telah berubah menjadi sebuah tempat yang berdegup 24 jam. Saya sendiri bingung mau menyebutnya seperti apa. Kampung JatinangorKota Jatinangor… atau apa. Karena yang jelas, dusun kami telah mengalahkan induk kotanya sendiri yaitu Sumedang, sebagai kota kabupaten. Sumedang jauh tertinggal dalam hal apapun oleh Jatinangor.


Yang paling terkena imbasnya, tentu penduduk setempat. Termasuk saya dan keluarga besar. Dengan tergopoh-gopoh harus mengikuti arus modernisasi dengan seketika. Terkejut..? sudah pasti. Apalagi untuk orang-orang dusun yang tingkat pendidikannya kurang memadai. Padahal disekelilingnya bertebaran Universitas besar. Ironis memang.
Jaman saya dulu, sudah puas bermain seharian dihalaman, di sawah, atau di ladang. Berbeda sekali dengan keponakan-keponakan saya sekarang. Mereka memilih seharian bermain di mall, super market dan warnet yang bertebaran di hampir setiap sudut jalan, sepulang sekolah. Begitu pulang ke rumah, langsung nonton Televisi atau bermain game.


Begitu juga dengan keponakan saya yang sudah menikah. Ibu-ibu muda itu sudah enggan menginjakkan kakinya di pasar tradisional. Mereka memilih berbelanja mingguan di super market.
“ Enak Om… tempatnya bersih. Bisa milih sendiri. Tak dicereweti penjualnya. Tak perlu nawar. Tak perlu berdesakkan dengan orang-orang yang berkeringat. Kalau masalah harga-mah gak terlalu penting. Kan suami yang cari duit. Tugas istri-lah yang menghabiskannya. Hehehe…. “
Saya benci sekali dengan alasan yang mereka kemukakan sambil cekikikan. Mereka hanya memberikan pembenaran sepihak atas budaya hedonis-nya. Hidup tak se-sederhana itu Bu…


Suatu saat, saya iseng nitip belanja bulanan pada seorang keponakan. Kebetulan banyak pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Saya memberinya daftar belanjaan dan sebuah kartu debet.
Keponakan saya hampir seharian berada di mall. Entah apa yang dia kerjakan disana. Yang jelas pulangnya hampir sore hari. Saya pun menerima titipan belanjaan. Terbungkus rapi dalam beberapa tas kresek.
Alangkah terkejutnya ketika membuka belanjaan. Banyak barang-barang jelek yang ada di dalam tas kresek. Terutama beberapa buah yang terlihat sudah tidak segar lagi. Belum lagi beberapa barang yang mendekati tanggal kadaluarsa. Saya protes dan memanggil sang keponakan.
Sang ibu muda malah nyengir dan merasa tak bersalah saat saya menerangkan beragam belanjaan tak layak yang baru saja dibelinya. Dia hanya garuk-garuk kepala semakin tak mengerti dengan apa yang telah diperbuatnya. Saya kehabisan akal. Sebenarnya apa yang ada dibenak keponakan saya saat memilih barang belanjaan. Saya berniat protes pada kakak saya, yakni ibunya.
Saya tambah syok saat mengadu pada sang ibu. Ternyata di rumahnyapun banyak barang-barang serupa hasil belanjaan anaknya. 

http://ditjenspk.kemendag.go.id/

Keponakan saya ternyata tidak cerdas dalam berbelanja. Dia hanya melihat display yang bagus. Tak bisa memilih barang yang tepat. Tak peduli dengan tanggal produksi dan tanggal kadaluarsa. Saya pun mengurut dada. Separah itukah ibu-ibu muda jaman sekarang?. Harus darimana memulai mengajarinya menjadi seorang konsumen yang cerdas.
Keponakan saya hanya manggut-manggut saja saat dikuliahi bagaimana menjadi seorang konsumen yang cerdas. Dia sedikit tertegun saat mengetahui bahwa konsumen yang cerdas itu adalah : konsumen yang kritis dan berani memperjuangkan haknya apabila barang/jasa yang dibelinya tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.


Wajahnya memerah saat kembali saya terangkan bagaimana cara berbelanja yang cerdas, seperti :
1.      Bersikap Super Teliti Sebelum Membeli
2.      Memperhatikan Label, MKG dan Masa Kadaluarsa
3.      Membeli produk yang ada SNI dan sesuai dengan Standar Mutu K3L ( Kesehatan, Keamanan, Keselamatan )
4.      Membeli sesuai Kebutuhan. Jangan gelap mata, membeli semua barang karena Keinginan.
“ Kalau barang telanjur dibeli, tapi mengecewakan bagaimana ? “


Saya tersenyum. Tak menyangka, ternyata keponakan saya separah ini lugunya. Saya pun kembali menerangkan bahwa setiap konsumen bisa mengadukan keluhannya pada :
1.      Produsen yang memproduksi barang
2.      LPK ( Lembaga Perlindungan Konsumen ) atau YLKI
3.      Pemerintah. Dalam hal ini terwakilkan oleh :
a.  Dinas Indag Provinsi/Kabupaten/Kota, Unit /Instansi  Pemerintah terkait lainnya.
b. Pos Pengaduan dan Pelayanan Informasi Direktorat Pemberdayaan Konsumen; Hotline: 021-344183 ;
c.  Sistem pengawasan Perlindungan Konsumen Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, melalui : http://siswaspk.kemendag.go.id


“ Ribet ya….. Om ? “ Keponakan saya masih garuk-garuk kepala.
“ Makanya kalau tak mau ribet, harus berbelanja yang Cerdas. Jangan malu dikatakan cerewet. Di Super market banyak pramuniaga yang bisa dimintai tolong untuk membantu memilih barang. Jangan segan bertanya ini-itu sebelum memutuskan memilih barang yang dibutuhkan. Konsumen mempunyai hak untuk mendapat barang terbaik “
Saya menutup kuliah panjang malam itu dengan emosi yang belum sepenuhnya reda. Ternyata banyak hal yang mesti diterangkan pada keponakan saya. Mungkin di luar sana masih banyak ibu-ibu muda seperti dirinya. Mereka tak sadar sudah menjadi bulan-bulanan produsen nakal. Mereka harus diajari pengetahuan sederhana, Bagaimana Menjadi Bijak Dalam Berbelanja.


Saya jadi rindu melihat perempuan-perempuan sederhana saling bertegur sapa di pasar-pasar tradisional. Mereka bersenda-gurau sambil melakukan transaksi jual beli. Penjual dan pembeli sama-sama senang. Bahkan tak jarang terjadi kedekatan emosional diantara penjual dan pembeli.
Beda dengan di super market. Penjual dan pembeli sama-sama membisu. Tak ada transaksi disertai gelak canda. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri.

1 comment: