Wednesday 28 October 2015

SI BEBEK REVOLUSI




Gerimis kecil tadi malam masih menyisakan nuansa sendunya pagi ini. Udara begitu dingin diseling hembusan sepoinya angin. Memaksa tubuh untuk tak beranjak dari dalam selimut saking dinginnya udara. Namun kerinduanku pada hangatnya tempat tidur tak mungkin kuteruskan. Aku tak mau berurusan dengan tatapan melankolis ayah karena telat bangun. Lebih baik segera masuk kamar mandi. Mengguyur badan dengan air dingin seperti biasa. Dilanjutkan dengan beres-beres kecil di ruang tamu dan halaman rumah seperti biasanya.
Sebagai anak terkecil, aku hanya ditugaskan beres-beres. Beda dengan Teteh yang punya tugas khusus mencuci pakaian seluruh anggota keluarga di pagi hari dan menyetrikanya setelah pulang sekolah. Usiaku baru 6 tahun dan Teteh 10 tahun ketika Ibu meninggalkan kami di suatu malam yang senyap. Ayah selalu mengatakan kalau Ibu sudah berbahagia di tempat lain. Ini merupakan jalan terbaik baginya, karena dapat terlepas dari penderitaannya selama ini. Sudah dua tahun ini Ibu menahan sakitnya. Kematian adalah jalan terbaik untuknya.
Semenjak ibu berpulang, ayah memilih untuk melajang. Bujukan untuk menikah lagi dari kerabat dan tetangga tak pernah digubris. Aku dan Teteh tentu saja mendukung keputusan ayah. Kami tak mau punya ibu tiri. Bayangan ibu tiri yang galak seperti di film-film kerap mengintimidasi kami. Bahkan menghantui di mimpi-mimpi kami. Waktu kusampaikan pada ayah, beliau hanya tersenyum sambil meledek.
“ Makanya jangan banyak nonton film yang sedih-sedih. Jadi terbawa sampai mimpi “
“ Bukankah yang diceritakan di film itu berdasarkan kisah nyata Yah? “
“ Mungkin saja. Tapi yang pasti, sampai kapanpun, kalian gak akan mengalaminya. Ayah janji “. Ayah mengacungkan telunjuk dan jari tangan kanannya. Membuat perasaanku kembali tenang. Aku yakin kalau ayah akan menepati janjinya.
Hari-hari sepeninggal ibu, kami lalui dengan santai. Kehidupan kami tidak banyak berubah. Setiap pagi ayah mengantar kami ke sekolah dengan motor bebek 70-nya. Biasanya aku duduk ditengah diapit teteh. Kami menyebut motor ayah dengan sebutan si Bebek Revolusi karena warnanya merah putih. Si Bebek Revolusi gak pernah ngadat. Dia menjadi bintang yang bersinar sejak kehadirannya di tengah-tengah keluarga kami, 2 tahun sebelum ibu berpulang.
Sekepal nasi ketan ditemani secangkir teh panas, mengawali pagiku bersama ayah dan teteh hampir di setiap pagi. Semenjak ibu tidak ada, ayahlah yang bertugas memasak. Walau masakannya tidak bermacam-macam seperti masakan ibu, tapi rasanya tidak kalah. Ayah memang hebat. Beliau tak hanya menjadi ayah yang baik, tapi mampu mengisi kekosongan hati kami atas hadirnya sosok ibu. Kehadirannya membuat kami tak merasakan kesepian baik di musim hujan atau musim kemarau sekalipun. Aku selalu rindu dekapannya yang hangat.
Ayah yang membuat kami tegar menghadapi dunia. Bersamannya, kami serasa memiliki dunia dan seisinya. Kami tak pernah kehilangan sosoknya saat kembali ke rumah. Beliau yang mengajarkan aku dan teteh untuk menaklukan dunia yang rumit.
Belasan tahun sudah kami menjalani hari bersamanya. Bersama si Bebek Revolusi, ayah mengajari kami tentang sebuah kesederhanaan yang penuh makna. Beliau tak pernah mengganti motornya dengan yang lebih baru. Bahkan ketika teteh beranjak remaja dan ngambek gak mau diantar gara-gara malu dengan si Bebek Revolusi, ayah menjelaskan dengan penuh kasih.
“ Sebuah benda diciptakan manusia karena fungsinya. Tak perlu malu karena kita hanya memiliki yang sederhana. Teteh pasti lebih mengerti bagaimana cara berterima kasih atas jasa-jasa si Bebek Revolusi untuk kehidupan kita.. “ Ayah tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak teteh.
Ketika kami beranjak remaja, perlakuan ayah perlahan berubah. Beliau lebih suka menjelaskan, daripada memerintah ini-itu. Penjelasannya yang logis membuat kami tak punya alasan untuk menentangnya. Begitu juga ketika kami mulai melupakannya karena lebih suka menghabiskan waktu dengan teman-teman diluar rumah. Ayah masih bisa tersenyum ketika membukakan pintu menyambut kami yang kelelahan setelah seharian ikut baksos di sekolah.
“ Ayah hanya ingin kalian lebih hati-hati “ Ayah mengurai cerita di meja makan. Waktu itu aku tak begitu memperhatikan raut wajahnya karena sangat lapar. Yang ada diotakku hanya bagaimana caranya supaya laparku terpuaskan. Aku masih belum mengerti juga ketika memergoki ayah sedang merenung sambil memandangi si Bebek Revolusi di temaramnya malam.
Andai pada saat itu aku tahu kalau ayah sedang merenungi kesendiriannya karena anak-anak yang sudah sekian lama menemaninya menghilang satu-satu. Seperti kupu-kupu yang perlahan menjauh setelah berhasil melepaskan diri dari kepompongnya.
Ketika aku mulai belajar mengendarai si Bebek Revolusi, ayah mengajariku dengan telaten. Begitupun saat aku sudah mahir mengendarainya. Ayah yang selalu mengingatkan untuk memakai helm dan berkendara dengan tertib di jalan. Jujur aku sering mengabaikan wejangannya. Makanya aku tak berani terus terang ketika lututku luka akibat jatuh dari motor.
Membayangkan apa yang sudah dilakukan ayah untuk kami, membuatku merasakan sesal yang menggunung. Andai waktu mampu diulang dengan segala kemegahannya. Pasti sesal ini tak akan begitu menyesakkan dada.
………………………………………………………………………………………….
Kupacu motorku menuju rumah teteh. Bayanganku mengenai wejangan ayah terus menghantui. Menyebabkanku memperlambat laju motor. Di sepanjang jalan yang kulalui, kenangan bersama ayah seperti bentangan layar berisi perjalanan hidup kami. Masih kurasakan betapa eratnya pelukanku pada pinggangnya. Sesekali tangan kiri ayah mengusap tanganku untuk menguatkan.
Teteh sudah menungguku di depan rumahnya. Langsung memburuku begitu motor berhenti di halaman rumah. Tangisnya langsung pecah.
Teteh kangen kamu “ Ia berbisik disela-sela tangisannya. Tubuhnya semakin gemuk. Aku sampai pangling dibuatnya. Kehamilan pertamanya membuat timbangan teteh naik lima  kilo.
“ Makanya aku langsung kemari. Takut teteh keburu marah “ Aku malah menggodanya sambil nyengir. Teteh memukul punggungku perlahan. Aku ingin tertawa melihatnya merajuk karena gayanya gak banget. Pasti gara-gara suaminya yang selalu memanjakannya sehingga Teteh menjadi bertingkah ajaib seperti ini.
Seingatku baru kali ini teteh merajuk. Sepanjang kebersamaan kami selama lebih dari dua puluh tahun di rumah ayah, tak pernah kulihat dia merajuk, kecuali saat ngambek karena gak mau diantar si Bebek Revolusi. Selebihnya, teteh termasuk perempuan tegar yang pernah kukenal. Makanya terkadang aku membandingkan mantan-mantanku dengan ketegarannya.
Aku menolak ketika teteh mengajak masuk rumah.
“ Kerinduanku padanya sudah tak tertahankan lagi..” Aku berkilah ketika teteh terus mendesak. Sejenak dia memandang bola mataku lekat-lekat. Sisa air mata masih menggenang dipelupuk matanya. Kesenduannya membuat hatiku terjerembab jengah.
“ Serindu itukah kamu padanya? ”
“ Kerinduan yang disesaki sesal. Sepanjang pengembaraanku di Kyoto tiga tahun ini, rasanya tak ada yang lebih membahagiakan selain kebersamaan dengannya saat kita kecil dulu. Sayangnya baru sekarang aku menyadari kalau berada disisinya seperti menggenggam dunia dan langit sekaligus. Apakah teteh tak memiliki kerinduan yang sama? “
Teteh tak menjawab. Ujung jempol kakinya mengais-ngais debu di lantai. Keheningan menelingkupi sekeliling. Aku menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang konyol. Aku yang seorang laki-laki dewasapun begitu merindukannya. Apalagi teteh yang notabene seorang perempuan. Pasti perasaannya lebih sensitif. Kami memiliki kenangan kebersamaan yang melimpah ruah. Bagaimana mungkin teteh tidak memiliki kerinduan yang sama. Bahkan mungkin kerinduannya melebihi kerinduan yang kumiliki.
Kugenggam tangan teteh dan kembali memeluknya “ Maafkan aku Teh.. “. Dalam dekapanku tubuhnya terguncang menahan tangis. Perasaanku tambah resah.
“ Andai Teteh tidak memberinya hadiah itu. Pasti semuanya tak akan terjadi. Maafkan Teteh karena telah mengirimnya menuju api “
“ Sudahlah. Kita sama-sama ingin membahagiakannya, walaupun dengan cara yang kita anggap benar.. “ Aku mencoba menenangkannya. Bagaimanapun, kepulanganku ke Bandung mesti memberikan kebahagiaan pada orang-orang tersayang. Bagiku, Kyoto tak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan Teteh. Aku rela meninggalkan semua kemapanan di negeri orang, demi kebahagiaan lain di negeri sendiri. Kenangan-kenanganku bersama ayah dan Teteh lebih penting dari segalanya.
“ Kita pergi sekarang? “ Teteh melepaskan pelukan kami. Aku mengangguk tanpa berkata-kata. Kami beriringan menuju motor. Kusodorkan helm masa lalu kami kepadanya. Tangan Teteh sedikit gemetar menerimanya. Kucoba menguatkan perasaannya dengan tersenyum.
Perlahan kujalankan motor yang sangat bersejarah ini keluar dari halaman. Dengan kecepatan ringan kami melaju membelah jalanan yang sedikit basah. Musim hujan belum usai. Sisa-sisa hujan tadi pagi masih tercium harumnya. Aku suka sekali dengan harum itu. Tak hanya mengingatkanku pada masa lalu, tapi harum hujan itu mengingatkanku juga tentang sekepal nasi ketan berikut teh panas yang disajikan ayah hampir setiap pagi.
Dari kejauhan, bukit kecil di ujung desa itu tampak menghijau. Kabut tipis mengelilinginya. Sinar matahari yang masih malu-malu belum sanggup menyingkirkannya. Perasaanku mulai tidak karuan. Semua kenanganku bersamanya langsung mengerubungi alam bawah sadar. Membuat dadaku sesak. Cengkeraman tangan Teteh yang membonceng dibelakang menyadarkanku untuk kembali waspada mengendarainya. Andai…
……………………………………………
Onggokan tanah merah dihadapan kami. Membisu dalam kesenduan pagi. Kucondongkan wajah untuk mencium kayu nisan bertuliskan nama seseorang. “ Ayah.. maafkan aku karena telah membuatmu kesepian di akhir perjalanan. Andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin kembali disaat kita sedang bahagia bersama Teteh..”
Tak terasa, airmataku jatuh satu-satu diatas pusara ayah. Sementara Teteh sudah sejak tadi berurai air mata disampingku. Dari mulutnya tak henti keluar kalimat-kalimat penyesalan. Aku memahami penyesalannya. Dialah yang paling merasa bertanggungjawab atas kepergian ayah. Karena sebulan lalu berkeras membelikan ayah sebuah motor baru sebagai hadiah ulang tahunnya.
Tak dinyana, bersama motor pemberian teteh-lah, pengembaraan ayah di dunia menemui akhir yang tragis. Beliau kecelakaan ketika mencoba motor baru itu di hari ulang tahunnya. Sementara aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa karena sedang menunaikan tugas di Kyoto.
“ Seharusnya Teteh membiarkan ayah memilih berbahagia bersama dia “ Teteh melirik pada Si Bebek Revolusi yang terparkir dengan manis di belakang kami. Entah kenapa, aku seperti melihat sosok ayah sedang menyender di motor itu sambil tersenyum memandang kami.
Kugeleng-gelengkan kepala untuk mengusir halusinasi yang baru saja kudapatkan. Tapi tak berhasil. Sepenuh hati kukuatkan perasaan kalau ayah kini sudah bahagia bersama ibu di genggaman langit. Aku yakin kalau mereka tengah bergandengan tangan dan bercengkrama diantara awan-awan sambil memandang kami dari atas.
“ Ayah.. aku berjanji untuk menjaganya sesuai keinginan ayah. Dia motor kebanggaan ayah kan?. Maafkan kami karena selama ini tak pernah mencintainya, seperti ayah mencintainya. Dia memang hanya benda yang bisa bergerak sesuai perintah tuannya. Tapi sesuai kata ayah, dia juga memiliki sisi sensitif yang tak pernah terjamah kalau kita tidak memahaminya..” Kuurai kalimat-kalimat peneguhan dihadapan pusara ayah. Ini luar biasa, karena sebelumnya aku tak pernah mampu merangkai kata-kata indah.
***

Thursday 15 October 2015

BIJAK MEMILIH PRODUK BERBAHAN SUSTAINABLE PALM OIL




Indonesia adalah pemilik ladang sawit terbesar di dunia. Produk yang dihasilkan dari ladang-ladang sawit itu berupa CPO atau Crude Palm Oil. CPO adalah produk setengah jadi yang berbentuk minyak kelapa sawit. Dengan potensi ladang sawit yang begitu besar, Indonesia ditetapkan sebagai negara produsen minyak sawit dunia nomor satu. Kontribusi CPO Indonesia telah mencapai 44,5 % atau setara dengan 19,6 juta ton dari total kebutuhan minyak sawit dunia. Bahkan pemerintah Indonesia menargetkan produksi lebih dari 40 juta ton di tahun 2020.

Meningkatnya permintaan CPO untuk pemenuhan kebutuhan minyak makan, oleokimia dan biodiesel membuat prospek industri kelapa sawit tetap sangat cerah. Permintaan minyak nabati yang berasal dari minyak sawit tercatat mencapai 44 juta ton atau sebesar 38 % di tahun 2009.


Sayangnya meningkatnya permintaan CPO di pasar dunia dibayang-bayangi oleh isu pasar internasional yang mengatakan bahwa Industri kelapa sawit merupakan penyebab rusaknya lingkungan dan hutan-hutan tropis, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Pasar Internasional menuding kalau perkebunan kelapa sawit  dianggap sebagai produk yang tidak sustainable/berkelanjutan, tidak ramah lingkungan, sebagian besar lahan perkebunan berasal dari konversi hutan, penyebab kerusakan lingkungan karena berkurangnya daerah tangkapan air, penyebab tercemarnya pengairan dan lingkungan akibat penggunaan pupuk.

Isu pasar internasional ini tak pelak semakin memojokkan posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Tudingan-tudingan pasar internasional semakin menggila ketika Indonesia dilanda musibah kebakaran hutan yang terjadi dimana-mana. Mereka menuding kalau kebakaran hutan salah satu penyebabnya adalah untuk memperluas lahan sawit. Harga CPO pun turun naik seiring berkembangnya isu di pasar internasional.

Isu yang berkembang itu harus diredam. Agar dapat diterima di pasar internasional, minyak sawit Indonesia harus produk yang sustainable/berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengelolaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi merupakan solusi jitu untuk menangkal Isu pasar internasional. Berdasatkan hal itulah, kini lahir konsep Sustainable Palm Oil (SPO) yang berarti Minyak Sawit Lestari oleh suatu badan yang disebut dengan Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO).

RSPO bertugas sebagai badan yang melakukan sertifikasi secara internasional yang bernaung dibawah lembaga dunia Swiss Civil Code. RSPO bertujuan untuk mempromosikan produksi dan penggunaan minyak sawit berkelanjutan melalui kerjasama di sepanjang rantai pasokan serta mengalokasikan dialog terbuka dengan para pemangku kepentingan. RSPO memastikan kalau perusahaan minyak sawit dibawah naungannya adalah perusahaan yang ramah lingkungan dan memperhatikan aspek finansial, lingkungan/ekologi, dan sosial.

Dalam lingkungan kecil, sebagai konsumen kitapun memiliki andil cukup besar dalam mendukung program pemerintah untuk program lingkungan yang berkelanjutan. Saat berbelanja, kita harus lebih teliti. Pastikan hanya produk berbahan minyak sawit yang berasal dari perusahaan-perusahaan bersertifikat RSPO-lah yang dipilih. Dengan begitu, kita turut mendorong sebuah sistem berkelanjutan eksis di negara kita.


Menjadi konsumen yang bijak adalah kunci dari partisipasi kita sebagai konsumen. Produk-produk kebutuhan sehari-hari berbahan dasar minyak sawit seperti minyak goreng, sabun, kosmetik, dan lain-lain adalah produk-produk yang setiap hari kita konsumsi. Dengan memilih produk dari perusahaan yang disuplai dari perusahaan minyak sawit bersertifikat RSPO, tentu kontribusi kita terhadap lingkungan berkelanjutan semakin nyata.

Bayangkan sepuluh atau dua puluh tahun kedepan. Anak cucu kita yang akan menanggung akibatnya jika lingkungan menjadi rusak, hutan-hutan terbabat habis, keanekaragaman hayati yang menjadi ciri khas hutan-hutan tropis hanya tinggal kenangan. Mereka hanya akan mewarisi lingkungan porak poranda apabila kita tidak mendukung program lingkungan berkelanjutan melalui satu langkah kecil, yaitu menjadi konsumen yang bijak.

Mari bergandengan tangan menjadi konsumen bijak dengan memilih produk-produk yang berlabel sustainable…

Sumber : http://www.sucofindo.co.id
                http://chardalagan.blogspot.co.id/ 

Wednesday 14 October 2015

NASI JAMBLANG... RIWAYATMU KINI




Jamblaaaaaaaaannng…!” Sebuah teriakan nyaring membangunkan tidurku. Walau mata masih sepet, biasanya aku bela-belain bangun. Kemudian bergegas ke depan rumah untuk menyongsongnya. Meski suaranya terdengar semakin nyaring, tapi sosoknya belum nampak. Seringkali aku malah kembali melengut di teras rumah karena menunggu kehadirannya.

Penantianku berbuah manis. Sosok yang dirindukan itu menampakan diri. Perempuan paruh baya dengan bakul dipunggung dan tampah dikepala. Ia datang dengan wajah sumringah dan senyum khasnya. “Eyangmu mana to, le..?”. Aku menggelengkan kepala karena benar-benar tidak tahu. Sepagi itu biasanya Eyang sudah ke pasar untuk berjualan. Pertanyaan perempuan dihadapanku hanya basa-basi. Jadi tak perlu kujawab.

Sekepal nasi dibungkus daun jati, setusuk sate telor puyuh, tempe dan tahu goreng, se-ujung sendok sambal, tak lupa diguyur sedikit kuah daging, merupakan menu sarapan pagiku. Meski dalam setahun hanya beberapa kali berkunjung ke Trusni, tapi perempuan dihadapanku itu tahu betul kesukaan pelanggannya.

Dialah Yuk Jaerah. Penjual nasi jamblang yang memberiku sarapan pagi saat Eyang pergi ke pasar. Layaknya seorang nenek sama cucunya, Yuk Je (semua orang memanggilnya begitu) menemaniku makan sambil cerita ngalor ngidul. Aku sendiri kadang ngerti, kadang tidak. Maklum cerita Yuk Je lebih sering dicampur dalam bahasa Jawa Cirebon. Jujur aku tak paham bahasa Jawa Cirebon. Aku lahir dan besar di Jakarta. Datang ke Trusni hanya sesekali untuk menengok Eyang. Yuk Je baru beranjak ketika sudah memastikan kalau makananku habis. Akupun tak perlu bayar. Biasanya tagihan nasi jamblangku ditagihkan ke Eyang, sepulang beliau dari pasar.

Kebiasaanku mengunjungi Eyang di Trusni benar-benar berakhir ketika beliau meninggal saat aku lulus SD. Namun seiring waktu, kenanganku bersama Yuk Je, nasi jamblang dan teriakan jamblangnya yang khas tak pernah hilang. Diam-diam aku merindukannya. Seperti kemarau panjang yang menantikan hujan. Entah kenapa, teriakan Yuk Je seperti memiliki kekuatan tertentu. Seperti berirama slow rock dan seriosa. Mungkin juga karena Yuk Je sama baiknya dengan Eyang. Dia memperlakukanku seperti cucunya sendiri.

Baru sekarang aku tahu penyebab mengapa kenangan Yuk Je tak pernah hilang. Menurut buku psikologi yang kubaca, suasana kekeluargaan yang dibangun saat sarapan pagi akan menimbulkan energi positif untuk melakukan aktifitas harian. Yuk Je memang hebat. Tanpa beliau sadari, perlakuan istimewanya membuat seorang anak manusia berkembang dengan memiliki kenangan positif tentang masa lalu.

Lima belas tahun kemudian, aku kembali berkesempatan mengunjungi Cirebon. Kantor tempatku bekerja menugaskan melakukan prospek pekerjaan pada beberapa klien. Kenanganku terhadap Yuk Je kembali ke alam bawah sadar. Apakah Tuhan masih memberiku keajaiban untuk menemukannya? Apakah Yuk Je masih hidup?. Masih terbayang ketika tangan kuatnya menggendongku yang tengah menangis di sisi jasad almarhumah Eyang. Beliau memeluk erat sekali. Yuk Je hanya hanya sesekali menitikkan air mata. Tapi kurasakan tubuhnya terguncang.


Selama di Cirebon, aku menginap di Aston Hotel Cirebon yang terletak di Jalan Brigjen Dharsono No.12 C, Cirebon. Hanya butuh waktu 30 menit dari stasiun kereta api. Supir taksi yang membawaku dari stasiun kereta langsung tahu ketika kusebutkan nama AstonHotel Cirebon. Suasana Suiteroom bergaya minimalis modern yang nyaman dengan fasilitas bathtub, membuatku senang berlama-lama di dalam kamar. Jujur aku belum tergoda mengunjungi tempat-tempat wisata di Cirebon sebelum acara prospek dengan klien selesai. Tawaran dari beberapa teman lama yang ada di Cirebon kuabaikan sementara.


Aku memang lebih senang pergi sendirian menikmati tempat wisata sejarah. Gak perlu takut nyasar karena ada Smartfren 4G LTE. Ponsel keren dengan fitur-fitur canggih. Tinggal buka goggle map untuk mencari lokasi tempat wisata. Atau tanya-tanya di komunitas Blogger Cirebon. Mereka akan dengan senang hati menjawab semua pertanyaanku tentang Cirebon. Postingan merekapun banyak mengulas tempat-tempat yang menakjubkan dan recommended untuk kukunjungi.


Pekerjaanku selesai dalam dua hari. Baru di hari ketiga, aku memutuskan untuk melongok-longok tempat-tempat yang direkomendasikan teman-teman Blogger Cirebon. Banyak hal yang membuatku takjub. Cirebon sudah benar-benar berubah. Akses kemana-mana kini gampang. Cirebon memang beda dengan kota lain yang punya tipikal lokasi berundak-undak seperti Bogor atau Bandung. Cirebon kotanya datar. Jalanan terlihat dari ujung ke ujung.

Aku mengunjungi Taman Kera Kalijaga. Ditempat ini langsung pasang sikap siaga. Maklum dulu pernah punya pengalaman tak mengenakan ketika mengunjungi tempat yang sama di Pangandaran. Kameraku diambil seekor kera dan dibawa keatas pohon. Dari Taman Kera Kalijaga, aku langsung kembali ke kota dan keliling-keliling cari makanan. Perasaanku langsung terhenyak saat melihat warung-warung bertuliskan spanduk ‘Nasi jamblang’. Andai… . 


Dengan benak dipenuhi gamang, kuputuskan untuk memasuki salah satunya. Namun kegamanganku menghilang seketika. Puluhan jenis makanan terhidang dengan penuh selera diatas meja. Dengan leluasa kupilih dan kutumpangkan ke atas nasi. Rasa Nasi Jamblang memang ajib. Perutku kekenyangan. Kuputuskan untuk balik ke Aston Hotel Cirebon.


Malam ketiga di Cirebon, ingatanku tentang Yuk Je kembali membayang. Aku kangen suara teriakannya. Rindu rasa sate telor puyuh dengan siraman kuah dagingnya. Tidurku jadi larut sekali. Bolak-balik kuganti chanel TV kabel yang ada di kamar hotel. Namun mataku tak juga terpejam.


Pagi-pagi sekali aku melangkahkan kaki keluar kamar. Resepsionis yang kutitipi kunci kamar tersenyum keheranan melihatku pergi di pagi buta. Dengan langkah bergegas aku masuk taksi yang sudah menunggu di depan lobby. Kemudian meluncur ke satu tempat. Sopir taksi tak banyak bertanya ketika kusebutkan sebuah nama.

Beberapa saat kemudian tiba ditempat yang kutuju. Perasaanku seketika tak karuan pasca taksi pergi. Beragam andai dan tanya bergelayutan dalam benak. Kuatur nafas pelan-pelan. Rasanya aneh sekali. Beberapa saat menunggu membuat perasaan gundah menyergap. Kupasang earphone ke telinga untuk mendengarkan musik lewat pemutar mp3 Smartfren 4G LTE.

Dadaku berdegup kencang ketika terdengar suara teriakan dari kejauhan. “Jamblaaaaaaannng…”. Kumatikan musik. Kutunggu suara itu dengan berdebar-debar. Beberapa jenak kemudian suara itu terdengar tambah nyaring. Aku curiga karena intonasinya tak seperti suara yang kukenal. Kembali ku lihat google map. “ Ini bener Trusni kan? “.

Sosok yang kutunggu itu akhirnya datang juga. Kekecewaan langsung menyergap. Dia bukan Yuk Je. Dia perempuan muda yang menjajakan dagangan Nasi Jamblangnya dengan motor. Dan itu bukan Yuk Je. Akupun mengelus dada…

Sumber Foto : https://www.aston-international.com
                       dan sumber lain di google