Wednesday 17 April 2013

This Vale Of Tears


aMAZe Style with ZALORA



Takdir, selamanya tak memilih siapa, apa dan bagaimana. Begitu juga dengan takdir kami yang terpisahkan karena kematian. Untuk yang satu itu mana mungkin aku sempat mempertanyakan tentang mati, tentang hidup atau tentang kehidupan. Yang pasti…. Sejak kematian Ibu, hidupku terasa rumit, kacau dan membingungkan.

Aku menyayangi ibu karena dia adalah sahabat yang tidak tergantikan. Didekat raganya yang terbujur kaku, aku bingung mesti bagaimana. Haruskah aku menangis atau memeluknya ?. Karena aku hanya bisa melakukan salah satunya. Jiwaku marah, frustasi dan merasa teraniaya. Namun harus bagaimana lagi. Semuanya sudah tertuliskan dalam buku takdir kami.

Aku ingin mengikuti Ibu betapapun jauh perjalanannya. Karena kuyakin, perjalanan bersamanya akan sangat mengasikkan. Menyeberangi laut, menjelajah awan. Menembus langit dan bintang gemintang. Tapi mana mungkin. Karena kini hanya terdapat onggokan tanah merah yang membisu. Ibu lebih suka bercengkrama dengan angin. Bercumbu dengan wangi dupa dan bunga mawar. 

Aku ingin, Ibu mencoba sekali saja menegurku lewat gemerisik daun yang bergeser. Untuk menghiburku yang terpencil sendirian. Memelukku dengan tangan gaibmu. Agar aku sejenak terlena oleh tetesan kasih yang teralirkan berjuta makna cinta.



Aku kini hanya seorang pengembara menyedihkan. Menyusuri jalan setapak yang tak pernah usai. Menelusuri kemarau. Melangkahi hari-hari nan gelap. Menembus belantara, menyibak alang-alang. Aku takut dan hampa.

Jujur, aku menyesal karena belum pernah membahagiakan Ibu. Padahal dulu aku pernah berjanji untuk menemaninya sampai akhir. Memegang tangannya hingga detik-detik terakhir. Maafkan aku Ibu, karena tak bisa menepati janji itu. Maafkan aku karena tak bisa membuat Ibu bahagia.

Seringkali aku merasa sangat bersalah dan begitu menyesal. Tapi apa artinya menyesal ketika aku tak lagi punya pilihan. Takdir yang memilihkanmu sebuah kematian, disaat aku masih begitu belia.

Takdir pula yang memilihkanku sebuah kehidupan. Agar aku bisa menghadapinya dengan berani. Agar aku bisa memaknainya. Agar aku bisa memahaminya. Meski tetap saja, takdir kehidupan ini terasa begitu menyakitkan tanpa Ibu.

Ibu, engkau adalah pengembara yang melintasi malam. Yang selalu menungguku kemarin dan hari ini. Yang selalu menyongsongku dengan ribuan cerita tentang sebuah perjalanan abadi nan sunyi. Meski engkau menjelajahi jagat raya dengan telanjang kaki.

Aku tahu, engkau selalu menungguku di bukit yang senyap ini. Aku tahu kau selalu ingin memelukku dengan tangan gaibmu di pusara ini. Aku tahu kau merindukanku melebihi rinduku padamu.

Aku ingin mempersembahkan sebuah pusara yang indah untukmu. Agar rumah abadimu tetap cantik, meski dalam kesunyian. Aku ingin mempersembahkanmu untaian doa-doa keabadian. Supaya engkau tetap menungguku.

Aku tak ingin engkau menganggap aku mengusik istirahatmu. Karena aku mempersembahkan doa dan pusara indah untukmu. Anggap saja sebagai kado kecil dari anakmu yang dadanya seakan hendak meledak, karena sekian lama menahan rindu.


Berilah aku isyarat bahwa engkau selalu ada disampingku.

No comments:

Post a Comment