Saturday 6 April 2013

TANTANGAN ZAMAN UNTUK SEORANG PENGEMBARA



Diary Kecil Seorang Ibu Gembala


“ Lihatlah bunga bakung di padang yang tidak pernah memintal dan menuai…Tapi Tuhan mendandaninya dengan sangat indah…Terlebih kamu sebagai manusia”



Saya mengenalnya sebagai seorang ibu yang mengabdi pada suami dan anak-anaknya. Di pagi buta, perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik ini sudah mengawali aktivitas. Membangunkan sang suami dan dua anaknya yang sudah dewasa. Selanjutnya menyiapkan air panas untuk mandi semua anggota keluarga. Dan menyiapkan sarapan pagi.
Jika bosan dengan masakan rumah, biasanya.. ibu yang murah senyum ini menyambangi beberapa kedai makanan di hari yang masih gulita. Membeli nasi uduk, membeli bubur ayam, atau membeli kue serabi yang masih panas. Ditempat terakhir inilah, saya kerap bertemu dengannya. Maklum, saya termasuk penggemar kue serabi juga. Selepas shalat shubuh biasanya saya nongkrong di kedai kue serabi untuk sarapan.
Meski baru kenal, namun sang ibu tak segan berbagi cerita dengan saya. Dan inilah sepenggal cerita tentang sejarah keberadaannya di kampung kami yang cukup sunyi….


“ Anak bungsu kami meninggal dua tahun lalu. Suami saya begitu syok dan depresi karenanya. Beberapa bulan dia terbaring sakit. Bahkan di suatu titik, dia mengalami Burn Out… Semangat hidupnya drop ke titik nadir. Dia memang begitu menyayangi si bungsu, lebih sayang dari anak-anaknya yang lain.
Kami akhirnya memutuskan pindah ke kampung ini. Semata-mata untuk mencari cara agar ayah anak-anak dapat berpaling dari kesedihannya. Puji Tuhan… ternyata dia lambat laut dapat bersahabat dengan takdir. Dia mulai bisa melupakan kenangan dengan sibungsu dan mulai menata kembali hidupnya. “


“ Keluarga kami memang keluarga yang unik. Saya sebenarnya puteri seorang pendeta. Karena cinta lah, saya memutuskan untuk menikahi suami saya yang seorang muslim. Anak-anak kami semuanya muslim. Hanya saya seorang, yang non muslim di rumah kami. Entah mengapa, saya tetap mempunyai keteguhan yang kuat untuk mempertahankan keyakinan saya.
Saat di Jakarta kemarin. Saya tidak begitu khawatir dengan kehidupan beragama kami. Karena rumah kami berada di suatu komplek yang sangat pluralis. Beragam agama dan keyakinan, hidup rukun dalam satu komplek.
Kehidupan bertetangga kami tak pernah terpengaruh dengan berbagai pemberitaan media tentang gerakan radikalisme agama yang kerap diberitakan media massa. Komplek kami tetap damai dan sejahtera.


Perasaan saya sedikit was-was saat memutuskan pindah ke kampung ini. Kampung sunyi yang masyarakatnya seratus persen mempunyai agama yang sama. Bahkan rumah kami berhadapan langsung dengan mesjid kampung. Setiap saat mesjid ini selalu ramai dengan aktifitas keagamaan. Bahkan anak saya pun terlibat aktif dalam semua kegiatan mesjid. Beruntung, dia dipercaya pengurus mesjid untuk jadi muadzin setiap shalat menjelang. Saya cukup senang karenanya.
Semula saya merahasiakan keyakinan saya pada tetangga sekitar. Saya masih was-was. Takut kalau sesuatu akan terjadi, jika mereka mengetahui yang sebenarnya. Maklum, belakangan ini, pemberitaan media tentang radikalisme agama semakin kencang beritanya. Membuat saya kian hati-hati.


Namun entah darimana awalnya. Beberapa tetangga mulai curiga pada aktifitas mingguan saya. Maklum hidup di kampung yang sederhana. Setiap orang terbiasa saling memperhatikan satu sama lain. Biasanya menyangkut orang yang sakit, kelahiran, kematian, pengajian, kerja bakti dan seabreg kegiatan khas komunitas pedesaan lainnya.
Saya suka beralasan akan berolah raga saat pergi ke gereja di minggu pagi. Keteledorannya adalah busana yang saya kenakan. Maklum ibu-ibu. Untuk menghadap Tuhan, saya pasti berdandan dan mengenakan pakaian terbaik. Termasuk ber-make up dan ber- high heels.
Singkat kata, akhirnya seluruh kampung tahu, bahwa saya seorang non muslim. Saya pun menyerahkan semuanya pada kuasa Tuhan. Ternyata kekhawatiran selama ini sangat tidak beralasan. Tetangga-tetangga tetap berperilaku seperti biasa. Tak ada yang berubah. Bahkan menyayangi keluarga kami lebih dari sebelumnya.
Ketakutan-ketakutan itu hanya sebuah prasangka yang tak semestinya saya punyai. Baik di kota atau di kampung, kita tetap dapat hidup berdampingan dengan damai. Tanpa mengusik keyakinan masing-masing individu.


Ada baiknya media apapun tak perlu memblow-up berlebihan mengenai berita radikalisme agama manapun. Karena fakta di kehidupan sehari-hari, keluarga kami dapat hidup damai dan sentosa dimanapun. Meskipun saya hanya satu-satunya orang yang mempunyai keyakinan berbeda di kampung ini. “


Sang ibu paruh bayapun menutup ceritanya sambil tersenyum hangat. Pesanan kue serabinya sudah selesai. Dia memasukan potongan kue ke dalam piring yang dibawanya.
“ Wah keasyikkan ngobrol dengan si Aa. Pasti anak-anak di rumah sudah menunggu sarapannya. Mereka memang masih manja, meski sudah pada dewasa. Walau begitu, ibu selalu rindu suka dengan kemanjaan mereka. Mereka tetap anak-anak manis yang harus ibu lindungi dimanapun, hehehe… “ 


Saya hanya tersenyum menanggapi celotehan sang ibu. Begitu pula dengan penjual serabi yang terus asyik memasak kue-kuenya. Ternyata di kampung kami yang begitu sunyi ini, terkuak kisah seorang pengembara yang mempunyai sisi lain di kehidupannya.
Ibu paruh baya itu bagai bunga bakung yang tumbuh di pekarangan dusun kami yang sederhana. Dia berbunga cantik saat musim penghujan, dan ber-dorman (seolah-olah mati) saat musim kemarau tiba. Saya jadi ingat perkataan seorang teman yang juga non muslim tentang bunga ini.


“ Lihatlah bunga bakung di padang yang tidak pernah memintal dan menuai…Tapi Tuhan mendandaninya dengan sangat indah…Terlebih kamu sebagai manusia”

No comments:

Post a Comment