Monday 6 May 2013

Cimahi : Sebuah Cerita Tentang Harapan




http://www.cimahikota.go.id
Untuk sahabat saya, Cimahi adalah sebuah Hope Land (Tanah Harapan). Sesuai makna luhur yang disandangnya, Kata Cimahi berasal dari basa Sunda ( Cai + mahi ), berarti "air yang cukup". Sahabat saya pun merasakan hal yang sama. Sejak mengakhiri pengembaraan panjang dan berlabuh di Cimahi.
Mungkin hal yang sama pula, ketika tahun 1811, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membuat Jalan Anyer - Panarukan, dan membuat pos penjagaan di alun-alun Cimahi (sekarang). Dia telah melakukan pengembaraan dahulu sebelum memutuskan untuk membuat satu pos penjagaan disana. 


Seperti halnya sahabat saya, Daendels jatuh cinta dan merasa nyaman di bumi Cimahi. Walaupun esensi keberadaan mereka mempunyai makna yang berbeda. Dan sahabat saya, mempunyai tujuan yang luhur. Meski karya yang dipersembahkannya untuk Cimahi, tidak spektakuler seperti yang dipersembahkan Daendels.


Saya mengenalnya saat kami sama-sama menuntut ilmu di Sekolah Guru. Pada awalnya saya tak begitu menyukainya. Dia terlalu sederhana dengan apa yang ditunjukkannya. Terkesan kampungan. Apalagi sikapnya yang cenderung carmuk pada kakak-kakak senior yang menjadi panitia opspek. Dialah Yon.
Yon sempat putus asa dengan cita-citanya untuk menjadi guru. Diantara kami semua, Yon paling jago dalam hal keterampilan Pramuka. Tali temali, memecahkan sandi Morse, Semaphore, Penjelajahan, P3K dan lain-lain. Makanya tak heran kalau dia lolos seleksi kabupaten dalam bidang Pramuka. Bahkan ikut dalam Jambore Nasional Pramuka.

Sayang, kecintaannya pada dunia pendidikan anak-anak dan Pramuka tak pernah terapresiasi siapapun. Pengabdiannya selalu tertolak, bahkan oleh kabupaten tempat lahirnya sendiri. Mereka tak butuh pengabdian seorang Yon yang sederhana namun bercita-cita luhur. Mungkin untuk mereka, Yon hanyalah sebutir debu yang tak mungkin menjadi permata.
Yon berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Menjalani beragam profesi. Dari kuli bangunan, tukang kayu, sampai menjadi operator alat berat pengeruk pasir. Tapi dibalik itu semua, hatinya selalu menangis, dia teringat senyum manis anak-anak didiknya di sekolah, tempat dia menjadi guru sukarelawan. Yon kehilangan senyum hangat mereka.

Hingga akhirnya Yon berlabuh di Cimahi. Kota Tentara yang membuat hidupnya memasuki babak baru. Cimahi butuh Yon. Butuh seorang pendidik berjiwa sederhana yang bercita-cita luhung. Butuh seorang instruktur Pramuka yang mumpuni dengan beragam keterampilan pandu. Butuh semangat Yon yang menggebu untuk mencerdaskan bangsa. Cimahi butuh jiwa raga Yon seutuhnya.


Saat ini, Yon telah menemukan dunianya sendiri. Dunia Pramuka yang riang gembira. Dunia celoteh anak-anak yang suka cita menyambutnya. Semua itu dia dapatkan dari sebuah tempat, bernama Cimahi. Sebuah tanah harapan yang mulai hiruk pikuk oleh kehidupan yang berdenyut setiap detik. Yang mulai gegap gempita dengan koloni yang dimilikinya. Tak hanya gegap gempita oleh tentara-tentara yang bermarkas disana.

Saya kembali bertemu dengan Yon beberapa bulan yang lalu. Busananya tetap sederhana seperti dulu. Garis-garis tua mulai terlihat diwajah dan rambutnya. Sambil berkelakar, saya bertanya pada dia.
“ Ternyata kamu tak pernah berubah Yon…. “
Diapun menjawab sambil tersenyum bahagia.

“ Aku menemukan dunia yang begitu indah di Cimahi.
Aku rela meninggalkan tanah kelahiranku.
Aku rela mendurhakainya.
Aku tak gentar kalau dia mengutukku menjadi batu.
Cimahi lebih mencintaiku seutuhnya.
Melebihi ibu pertiwiku sendiri “

No comments:

Post a Comment