Thursday 16 May 2013

Pake OGB…. Siapa Takut….?


http://www.dexa-medica.com/


Menejer tempat saya bekerja sempat heran ketika saya menukarkan beberapa kuitansi pengobatan di kantor. Bukannya apa-apa, selama dua minggu berobat jalan ke dokter suatu klinik. Biaya yang saya keluarkan termasuk “sederhana” untuk ukuran beliau. Dalam benaknya, selama dua minggu pengobatan, saya pasti menghabiskan biaya yang cukup besar. Mengingat penyakit yang saya derita cukup “menyeramkan”.
Itu terjadi berkat resep obat yang diberikan dokter, semuanya Obat Generik. Saat pemeriksaan berlangsung, saya memang cukup cerewet dengan sang dokter. Maklum sang dokter termasuk kenalan saya. Jadi bisa lebih berani untuk tanya ini itu. Dan memohon keringanan dengan meminta resep Obat Generik.
Sebenarnya sudah menjadi hak setiap pasien untuk memilih resep obat yang ditawarkan. Bukan karena kedekatan secara emosional dengan sang dokter. Kewajiban setiap dokter lah untuk menjelaskan setiap obat yang diresepkannya pada setiap pasien. Tanpa memandang latar belakang, kedekatan emosional, suku, ras agama atau apapun. Setiap pasien berhak mendapatkan perlakuan yang sama.


http://www.dexa-medica.com/

Obat Generik atau lebih tenar dengan sebutan Obat Generik Berlogo (OGB) merupakan program Pemerintah Indonesia yang diluncurkan pada tahun 1989. Tujuannya untuk memberikan alternatif obat dengan kualitas terjamin, harga terjangkau, serta ketersediaan obat yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat.

http://www.dexa-medica.com/

Disebut Obat Generik, karena obat berlogo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "Generik" di bagian tengah lingkaran ini dikenal sebagai obat yang ramah di kantong (alias murah meriah). Meski begitu, kualitas yang dipunyai obat Generik, sama dengan obat serupa yang dikeluarkan oleh produsen komersil.

http://www.dexa-medica.com/

Obat Generik bisa murah dikarenakan obat yang bersangkutan (produksi awal) telah habis masa patennya (off patent), sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalty pada pemilik hak paten awal. Masa paten suatu obat biasanya sekitar dua puluh tahun dikurangi masa uji klinis. Sehingga efektif kehidupan paten suatu obat cenderung antara tujuh sampai dua belas tahun.
Walau hanya meniru komposisi awal obat paten, produsen OGB harus memenuhi standarisasi tertentu. Yakni memiliki sertifikat COA (dokumen otentik yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk menjamin kemurnian dan kualitas obat), sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), disahkan BPOM RI (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia) serta lulus uji bio-availabilitas dan bio-ekivalensi

http://www.dexa-medica.com/

Pengujian bio-availabilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa cepat kandungan zat aktif dalam obat tersebut diserap oleh darah menuju sistem peredaran tubuh. Sedangkan uji bio-ekivalensi dilakukan untuk membandingkan profil bioavailabilitas dengan tiap bentuk obat yang tersedia, meliputi tablet, kapsul, sirup, dan sebagainya.
Disamping itu, OGB juga tidak mengeluarkan biaya promosi yang berlebihan seperti obat komersil lain. Sehingga budget promosi bisa dialihkan untuk menekan biaya produksi. Belum lagi produksi obat yang dilakukan secara besar-besaran hingga dapat menekan ongkos produksi.


Sejauh ini, rekomendasi OGB oleh dokter, hanya dilakukan di kota-kota kecil. Ini terbukti dengan perbedaan biaya berobat ke dokter di kota besar dengan di kota kecil. Bila berobat di klinik kota kecil. Dengan biaya relatif terjangkau, seorang pasien sudah mendapatkan pemeriksaan dokter dan sekantung obat. Tak perlu susah-susah menebus obat lagi di apotek. Bila diperhatikan, semua obat yang diberikan dokter, seluruhnya berlogo OGB.
Beda dengan ketika berobat di klinik kota besar atau di rumah sakit yang cukup bagus dan terkenal. Sang dokter hanya memeriksa pasien dan menuliskan resep obat. Selanjutnya sang pasien harus menebus resep di apotek. Biasanya sang pasien merasa “dirampok”. Karena harga tebusan obat yang gila-gilaan. Padahal, tidak semua pasien, mampu menyediakan dana besar untuk menebus resep obat.

http://www.dexa-medica.com/

Sudah seharusnya cara-cara “pembodohan” semacam ini dihentikan. Sosialisasi yang gencar harus dilakukan pemerintah untuk melindungi warga negaranya. Caranya bisa dengan memasang poster atau pamplet yang menarik di setiap klinik, rumah sakit atau balai pengobatan di seluruh Indonesia mengenai sosialisasi Obat Generik Berlogo.
Jangan hanya sosialisai gencar di media televisi, surat kabar atau internet. Biasanya setiap pasien dan keluarganya akan lupa bahwa ada program OGB saat menderita sakit. Mereka hanya panik dan sibuk menahan sakit. Jadi bayangan tentang program OGB hilang dari benak mereka.
Bila poster sosialisasi OGB ditempel di ruang tunggu setiap klinik, rumah sakit dan balai pengobatan lainnya. Minimal setiap pasien atau yang mengantar teringatkan kembali. Jadi bisa lebih kritis saat menghadapi dokter di ruang pemeriksaan. Mereka bisa meminta sang dokter untuk meresepkan OGB untuk penyakit yang dideritanya.

http://www.dexa-medica.com/

Tak usah takut. OGB tak kalah kualitasnya dengan obat paten yang komersil. Bahan baku dan cara pembuatannya sama. Lagi pula, hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan sakit. Obat dan semacamnya hanya sebuah media atau jalan untuk menuju kesembuhan.
Benar apa kata Slamet Budiarto, Sekjen (PB IDI) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. “Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta dan mendapatkan resep obat generik dari dokter,”.
Bila seorang pakar sudah mengatakan demikian. Apalagi yang diragukan. 

Generasi OGB

Jadi….Pake OGB… Siapa takut ?   

No comments:

Post a Comment