Tuesday 27 November 2012

YANG TERTINGGAL DARI KENANGAN BEN


Saya mengenalnya sebagai Ben. Anak tiri dari kakak laki-laki kandung saya. Ben dibesarkan oleh keluarga yang sangat sederhana. Kakak kandung saya memang hanya seorang tukang ojek yang penghasilannya tidak menentu. Sedangkan sang istri, yaitu ibu kandung Ben, mantan seorang pelayan café di sebuah pub ternama di kota Bandung.
Saat saya berjumpa dengan Ben, dia masih anak kecil yang sangat lucu. Pantas saja kalau kakak saya begitu menyayanginya seperti anak kandungnya sendiri. Sayapun tak keberatan saat dipanggil paman olehnya. Lagian Ben cukup santun dan menyenangkan saat bertemu dengan saya.
Ketika menginjak remaja, seperti anak remaja pada umumnya. Ben mulai nakal dan mencicipi berbagai hal yang kadang membuat orang tuanya marah. Apalagi saat itu kehidupan keluarga kakak saya mulai kembang kempis. Maklum sang istri tak lagi bekerja di café. Karena usia yang mulai menua. Sudah kodrat alam untuk tergantikan oleh gadis-gadis yang masih belia.
Karena kenakalannya, Ben sampai tak lulus SMP. Dia lebih memilih untuk ikut bekerja serabutan bersama sang ayah. Irama nasib menghantarkan Ben pada satu kehidupan yang jauh dari kehidupannya semula. Kehidupan pedesaan yang tenang dan tentram.
Dengan wajahnya yang cukup rupawan, Ben berhasil masuk ke dunia malam yang hingar bingar. Entah apa yang dilakukan Ben disana. Yang jelas, sejak saat itu Ben menjadi kebanggaan keluarga. Pakaiannya selalu trendi dan bermerek. Setiap pulang ke desa selalu membawa uang yang lumayan untuk ayah dan ibundanya.
Sayapun begitu pangling ketika bertemu dengannya. Ben menjadi lebih bercahaya. Dandanannya klimis sekali. Mirip pria-pria metroseksual yang kerap berseliweran di layar kaca dan iklan-iklan. Namun dihadapan saya, Ben tetap seorang yang sangat santun. Tetap mencium tangan saya dan memperlihatkan senyumnya yang menawan.
Beda sekali dengan cerita yang banyak terdengar dari ayahnya. Bahwa Ben sudah berubah perangai menjadi begitu angkuh karena mulai hidup berkecukupan. Namun ternyata kabar demikian tak terjadi pada saya. Ben tetap begitu menyenangkan dimata saya.
Hampir lima tahun Ben berkecimpung di dunia malam. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke desa. Itu semata karena belakangan Ben mulai sakit-sakitan. Dari kabar yang saya dengar, sebenarnya penyakitnya hanya sepele saja. Cuma penyakit Flu. Namun entah kenapa tak kunjung sembuh.
Tak berapa lama, Ben kembali dapat pekerjaan. Kali ini pekerjaan biasa. Namun lokasinya tak begitu jauh dari rumah. Ben senang. Dia bertahan dengan pekerjaannya walau gajinya lebih kecil. Hanya cukup untuk kehidupannya sendiri. Tak bisa lagi membantu kehidupan orang tuanya seperti dulu.
Di saat seperti ini, kehidupan memang tak bisa diprediksi. Sang ibu mulai sakit-sakitan. Padahal usianya masih empat puluhan. Semula penyakitnya sama seperti penyakit Ben. Penyakit sepele yang tak kunjung sembuh. Namun di kemudian hari, penyakit yang sepele itu berubah menjadi beragam penyakit asing yang menakutkan.
Dokter-dokter di Puskesmas atau di rumah sakit kabupaten yang didatanginya tak pernah bisa mendiagnosis secara persis penyakit apa yang sebenarnya menimpa sang ibu. Yang jelas, para medis itu hanya mengatakan penyakit sang ibu sesuai kondisi yang setiap hari berubah. Dari penyakit lever, Hepatitis C, TBC atau sebangsanya.
Saya sebenarnya sempat bertanya pada suaminya mengenai hal ini. Namun kakak saya itu hanya mengatakan bahwa penyakit sang istri memang seperti itu. Tak ada informasi lain. Sampai kemudian sang istri meninggal dalam kondisi sakit yang cukup parah.
Tentu saja peristiwa kematian ini membuat semua anggota keluarga berkabung. Apalagi masih ada anak kakak saya yang beranjak gadis. Yakni adiknya Ben.
Yang paling terpukul dengan kematian sang ibu ternyata Ben. Semua orang tak pernah menyangka bahwa Ben begitu kehilangan ibundanya. Ketika saya Tanya, ternyata selama ini Ben lah orang terdekat ibunya itu. Mereka berdua adalah teman curhat yang saling menggantungkan hidup satu sama lain. Apalagi Ben sangat menyesal karena tak bisa membiayai pengobatan sang ibu. Karena hidupnya tak lagi seperti enam tahun lalu.
Setahun kemudian saya kembali mendengar Ben sakit. Bahkan sebulan kemudian penyakitnya tambah parah. Dirinya hanya tergolek lemah di tempat tidur. Tubuhnya semakin kurus kering. Wajahnya yang dulu rupawan kini hanya tinggal kulit yang membalut tulang.
Dari bisik-bisik kakak saya. Katanya Ben terkena HIV. Ya Tuhan darimana gerangan hal itu bisa terjadi. Masih menurut kakak saya pula, semua berasal dari kegemaran Ben mentatto tubuhnya. Memakai jarum yang sama dengan jarum orang lain. Itu terjadi ketika Ben putus asa karena ditinggal sang bunda.
Saya tak percaya. Dari literature yang pernah saya baca, bukankah virus HIV mulai terlihat setelah masa inkubasi 5 sampai 10 tahun. Sementara kegemaran Ben  menjajal Tatto ditubuhnya baru setahun belakangan ini. Tanda tanya saya kian besar setelah mendengar jejak rekam hidupnya bersama sang bunda di masa lalu.
Saya takut sekali kalau ternyata Ben tertular HIV dari sang bunda saat masih dalam kandungan. Mengingat penyakit ibundanyapun menunjukkan gejala yang sama. Bila hal ini terjadi, bagaimana dengan suaminya yang jelas-jelas kakak kandung saya. Semoga saja hal demikian memang tak terjadi.
Semoga saja Ben tertular HIV, akibat kehidupan hedonisnya saat bekerja di dunia malam. Dan teka-teki asal muasal penyakit Ben tak kunjung terpecahkan hingga ajal menjemputnya. Ben meninggalkan dunia fana dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Dia hidup terkucil dari lingkungan sekitar, setelah para tetangga tahu penyakitnya.
Di kemudian hari, sayapun mendapat kabar. Teman sekamarnya saat bekerja di dunia malam meninggal dalam kondisi yang sama persis dengan Ben.
Namun saya masih menyisakan seribu Tanya tentang semuanya. Saya khawatir dengan kakak saya. Harus bagaimana meyakinkannya agar mau melakukan general check up. Selama ini memang dia terlihat sehat-sehat saja. Malah hidup bahagia dengan istri barunya. Namun tetap saja saya khawatir.
Daerah kami memang hanya sebuah desa yang tidak begitu ramai. Namun dengan peristiwa yang terjadi pada Ben. Tentu saja harus menumbuhkan paradigma baru di kalangan masyarakat dimanapun. HIV tak hanya terjadi di kota saja. Ternyata sang pembawa maut itu sudah mulai mengintai ke desa yang cukup sunyi.
Siapakah yang mesti melakukan penerangan untuk orang-orang lugu di desa-desa yang cukup sunyi itu. Mengingat akses mereka terhadap Informasi hanya melalu televisi. Lagian Informasi lewat televisi sangat kurang. Malah seringkali tidak mengenai sasaran karena disampaikan dalam bentuk yang kurang dimengerti masyarakat awam yang tingkat pendidikannya masih rendah.
Seperti kejadian yang menimpa tetangga-tetangga Ben yang mengucilkannya sampai maut memanggil Ben. Padahal peristiwa demikian tak mungkin terjadi andai ada media atau pihak yang mampu menyampaikan secara terang benderang dan dimengerti orang awam.
Siapa bisa membantu………….

No comments:

Post a Comment