Tuesday 27 November 2012

SENTUHAN ENERGI SEDERHANA UNTUK LINGKUNGAN TERCINTA


Tags : Energi, Lingkungan, Pertamina

Sewaktu berkunjung ke tempat saudara di sebuah desa, saya cukup tertegun dengan perubahan yang sangat drastis di kampung yang dulunya senyap itu. Jalan menuju kesana sudah dilapisi beton cor yang kuat. Begitu pula dengan drainase sepanjang jalan yang sudah menggunakan gorong-gorong dari bahan beton juga.
Ditambah lagi dengan bangunan di kiri kanan jalan yang diisi deretan bangunan berdinding tembok juga. Tak ada lagi bangunan asli pedesaan yang menyejukkan mata seperti sepuluh tahun lalu. Semua berubah. Desa ini sudah makmur rupanya.
Rumah berdinding tembok memang tolok ukur Kemapanan bagi banyak orang. Hampir tak ada lagi orang yang punya keinginan untuk mendirikan tempat tinggal berdinding bilik bambu atau kayu. Identitas khas sebuah perkampungan yang asri, hilang sudah.
Sayangnya pemahaman tolok ukur tentang sebuah Kemapanan itu tidak dibarengi dengan pemahaman mengenai Alam Semesta. Mungkin karena tingkat pendidikan yang rendah. Diperparah lagi dengan proses pendidikan dasar yang tidak mengadopsi Pendidikan Kearifan Alam Semesta untuk manusia. Hingga terbentuklah generasi yang menafikan alam. Padahal alamlah yang selama ini menjadi tempat dirinya berpijak.
Contoh kasar adalah halaman setiap rumah yang berjejer sepanjang jalan itu yang semuanya ditutupi cor semen. Tak ada kehijauan rumpun yang menghampar indah didepan rumah. Kalaupun ada satu dua yang masih berupa tanah, hal itu dibiarkan begitu saja tanpa ditanami apapun.
Ketika saya tanyakan pada saudara saya. Jawabannya cukup miris terdengar. Semua berdalih Repot jika halaman ditutupi rumput. Harus disiram saat musim kemarau. Harus rutin dipangkas jika musim penghujan. Belum lagi ka;au ada ulat dan binatang lain yang biasanya berserang di semak-semak rumput.
Tak hanya rumput yang menghilang. Pohon-pohon besar di depan rumah juga banyak yang lenyap begitu saja. Alasannya kembali membuat kepala saya geleng-geleng kepala. Repot sekali harus membersihkan daun yang berguguran setiap hari. Takut kalau pohon menghalangi kabel listrik. Apalagi di saat musim penghujan. Bisa-bisa bangunan rumah yang bagus rusak seketika karena tertimpa dahan pohon yang tumbang.
Pemikiran-pemikiran keliru inilah, yang sebenarnya kini banyak disesali masyarakat perkotaan yang sudah lebih dulu mencicipi kehidupan modern. Penduduk perkotaan menjadi pontang-panting saat musim hujan karena banjir. Jutaan kubik air hujan yang tercurah dari langit, tak lagi diserap tanah karena tertutup beton. Akibatnya air meluap tak terkendali ke jalanan dan saluran air. Diperparah oleh jaringan drainase yang sempit, hingga tak lagi dapat menampung debit air dari tiap rumah yang tak terkira banyaknya.
Saat musim kemarau tiba, kembali lagi pusing bukan kepalang. Masyarakat kota kekurangan air tanah. Karena tak ada lagi air yang tersimpan di dalam tanah akibat tak terserap saat musim penghujan.
Jika sudah begitu, siap-siap saja berpuluh tahun kemudian tanah di tempat itu akan amblas karena terdapat rongga yang besar di perut bumi akibat pengambilan air tanah yang terus menerus. Sementara itu tak ada lagi suplai yang berasal dari air hujan untuk mengisi kembali rongga di dalam perut bumi.
Makanya belakangan ini banyak digalakkan konsep Go Green dan Back To Nature. Bersahabat kembali dengan bumi lewat gerakan menanam sejuta pohon. Atau membuat lobang-lobang Pori di halaman rumah supaya terjadi resapan air hujan secara alami.
Saya menerangkan semua pengetahuan itu pada saudara saya tercinta lewat bahasa orang desa yang sederhana. Dia hanya manggut-manggut. Saya tak bisa menebak. Apakah dia memang mengerti sepenuhnya. Atau hanya terpaksa mendengarkan saja uraian saya karena segan.
Saya pun ingin menunjukkan sesuatu kepadanya dengan cara yang sederhana. Dengan cara membawa dia ke tempat pemakaman keluarga yang ada di atas sebuah bukit. Alasan saya kala itu adalah untuk berjiarah dan sowan ke makam leluhur.
Saudara saya itu bercerita bahwa bukit pemakaman pernah longsor tahun lalu saat musim penghujan. Dia bilang, mungkin karena bukit itu semakin penuh oleh makam. Saya hanya tersenyum mendengarnya.
Sesampainya di makam, saya kemudian menutupi tanah sekitar makam ayah dan ibu saya dengan potongan rumput yang sebelumnya sudah saya persiapkan. Hingga daerah sekitar makam orang tua saya itu tertutup semuanya. Hasilnya memang terlihat  menjadi lebih indah dan menyejukkan mata. Beda dengan sebelumnya yang gersang karena berupa tanah merah yang lengket.
Kali ini saudara saya mulai berkomentar. Dia memuji karena makam menjadi indah dan sedap dipandang mata. Saya hanya terkekeh mendengar pujiannya.
Setahun kemudian, ada lagi kabar dari saudara saya tentang bukit pemakaman itu. Saat itu musim penghujan tengah mencapai puncaknya. Dia bilang bahwa sang bukit kembali longsor. Namun makam orang tua saya dan beberapa makam disekitarnya tidak apa-apa. Semua karena rumput yang saya tanam telah menjadi penopang yang kuat untuk menahan air hujan yang tercurah dari langit. Saudara saya berteriak di telepon.
“ Saya baru mengerti, mengapa kamu menanam rumput di pemakaman orang tuamu. Rupanya supaya tidak terjadi longsor ya ……? “
Dan saya pun mengucap syukur dalam hati. Rupanya dengan cara teguran dari Tuhanlah, saudara saya bisa mengerti tentang pentingnya kembali Bersahabat dengan Bumi.

No comments:

Post a Comment