Wednesday 10 October 2012

KEPONAKAN-KEPONAKAN TERSAYANG


KEPONAKAN-KEPONAKAN TERSAYANG

By Deddy k. Sumirta
Sejauh ini aku tak pernah menyangka bahwa caraku memperlakukan semua keponakan bisa mejadi sebuah cerita unik. Ini berawal dari kebiasaanku mengajak beberapa keponakan yang masih kecil untuk jalan-jalan. Entah ke pasar pagi Unpad atau ke sebuah mal di kawasan Jatinangor bila ternyata hari itu aku terlambat bangun. Memang tak ada acara yang ‘wah’ saat kami kesana. Hanya berburu kuliner. Bila ada uang lebih, mereka kubelikan beberapa barang atau mainan yang lucu-lucu. Disamping itu, aku juga mengajarkan pada mereka untuk berani naik kuda atau menaklukan beberapa permainan di arena mini out bound. Semua itu kulakukan agar keponakan-keponakanku berani tampil di muka publik. Maklum mereka termasuk anak-anak desa yang sifat pemalunya sedikit lebih tinggi dari anak-anak kota.
Biasanya, keponakan yang kuajak adalah anak yang sudah berumur minimal tujuh tahun. Di usia seperti itu, aku tak begitu repot untuk mengawasinya. Bila kurang dari tujuh tahun, aku pasti kerepotan bila tiba-tiba mereka kebelet pipis, merengek-rengek ngambek atau bahkan kebelet pup. Kalau usianya sudah tujuh tahun, mereka lumayan sudah mandiri dan bisa sedikit mengurus dirinya sendiri. Jadi kebersamaan kami bisa lebih menyenangkan tanpa gangguan dan rengekkan.
Sebenarnya aku tak pernah menyangka bahwa perlakuanku kepada mereka begitu membekas di ingatan anak-anak kecil itu. Rupanya pengalaman kebersaan kami begitu menyenangkannya hingga tak pernah mereka lupakan. Terbukti saat mereka beranjak remaja dan memiliki komunitas bermain sendiri, cerita tentang akhir pekan itu kerap kudengar diceritakan oleh keponakanku pada teman-temannya.
Aku jadi merasa tersanjung kalau mendapati mereka membicarakan semuanya. Berarti mereka tetap ingat pada kegembiraan kami. Meskipun dulu aku sempat marah ketika keponakan-keponakanku berselisih paham karena program jalan-jalan itu kuhentikan. Ceritanya begini :
Seiring waktu, keponakanku bertambah. Semula ada dua orang keponakan yang rutin aku ajak jalan-jalan. Tahun berikutnya tambah satu orang lagi. Tahun berikutnya tambah lagi. Bahkan keponakan yang tidak satu komplek perumahan dengan aku pun ikut-ikutan. Aku cukup repot bila anak-anak yang kubawa lebih dari empat orang. Disamping repot mengawasi, dana operasional untuk membiayainya pun cukup menguras dompet. Apalagi kalau banyak, mereka jadi lebih berani tunjuk ini tunjuk itu. Alhasil di kemudian hari, aku memutuskan untuk menghentikan acara jalan-jalan di akhir pekan itu secara permanen. Demi Tuhan, rugi bandar.
Rupanya keputusanku menghentikan acara jalan-jalan, menjadi semacam perselisihan diantara mereka. Dari cerita yang kudapat dari kakak-kakakku, mereka kerapkali saling tuding sesamanya saat melihat sepupunya mempunyai mainan baru. Dikiranya aku yang membelikan. Belum lagi setiap Minggu pagi tiba. Satu persatu mengintip rumahku dipagi buta. Semata-mata untuk memastikan bahwa tak ada satu keponakanku pun yang kuajak jalan-jalan pagi itu.
“ Sampai segitunya mereka berselisih Kak ? “ Aku bertanya.
“ Iya. Mereka takut kalau kamu lebih memilih sepupunya daripada dia sendiri“
Cerita mengenai keponakan-keponakanku pun terus terurai.  Mereka kerap kali memancing rasa marah orang tua mereka. Dengan sengaja mengusili adiknya yang masih kecil, atau tanpa sebab merusak mainannya sendiri. Apalagi saat mendengar aku memanggil salah satu sepupunya. Mereka langsung mengintip, apa gerangan yang dilakukan oleh kami. Padahal biasanya aku hanya menyuruh salah satu diantara mereka untuk membelikanku sesuatu. Karena rumah kami berdekatan satu sama lain. Sambil berseloroh, kakakku minta pertanggungjawaban atas kekacauan yang kutimbulkan.
Aku baru tahu kemudian, setelah membaca artikel tentang psikologis anak. Ternyata keponakan-keponakanku mengalami rasa cemburu yang berlebihan tatkala mendapati bahwa kebiasaan yang sudah dijalaninya terhenti begitu saja. Akibat kemunculan anggota baru. Hingga mereka berusaha mencari perhatian dengan cara mereka sendiri agar kesenangan yang dulu didapatnya, terulang kembali. Mereka jadi saling curiga, sensitif dan cepat tersinggung.
Wah-wah, mengapa bisa jadi seperti ini ya. Aku sendiri bingung. Aku bukan orang tua mereka. Aku cuma ingin ikut menyayangi mereka. Mengapa aku yang harus tanggung jawab. Apakah salah kalau aku berusaha menjadi seorang paman yang baik bagi mereka ?
Ahh… Seorang mahluk hidup yang bernama Manusia memang terlalu unik. Tak pernah ada matinya. Termasuk anak-anak sekalipun.


* http://www.ayahbunda.co.id/artikel/Balita/Psikologi/tanda.anak.cemburu/001/007/1237/2


No comments:

Post a Comment