Thursday 10 January 2013

Sang Air Yang Makin Terindui



Dialah yang diberi julukan Air
Yang bisa menyapaku dalam beragam rupa
Yang memayungiku dari terik matahari sebagai awan

Dia menyanyikan sebuah lagu cinta sebagai hujan
Dia membisikiku luahan kegembiraan sebagai sungai, sebagai danau, sebagai lautan yang membiru

Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O. Satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Air tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standar. Zat kimia ini merupakan pelarut yang penting. Yang memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan molekul organik. Air sering disebut sebagai pelarut universal karena melarutkan banyak zat kimia.

Tubuh manusia terdiri dari 55% sampai 78% air. Untuk bertahan hidup, tubuh manusia membutuhkan satu sampai tujuh liter air setiap hari agar terhindar dari dehidrasi. Sebagian besar orang percaya bahwa manusia membutuhkan 8–10 gelas air per hari.

Peradaban manusia selalu mengikuti sumber air. Banyak kota-kota besar dunia menjadi gilang gemilang karena berada dekat air. Sehingga mempermudah  akses orang untuk datang lewat perairan. Seperti halnya kota-kota besar semacam, London, Montreal, Paris, Tokyo, Chicago, HongKong, Singapura, dan Jakarta. Kota-kota besar itu maju karena berada dekat perairan laut atau sungai besar.

Begitu pula dengan kampung kami yang sepi. Dulunya adalah sebuah danau kecil yang dikelilingi tanah pertanian yang subur. Itu sebabnya, kampung kami dinamai kampung Situ. Dalam bahasa Sunda, Situ berarti danau. Kata ayah saya. Dulu danau kecil itu tempat latihan berenang tentara. Dipinggir danau itu ada Kembang Tanjung (Bunga Tanjung) yang di musim-musim tertentu tak pernah absen berbunga. Makanya desa kami dinamai desa Tanjungsari. Yang bermakna intinya bunga Tanjung.
Entah benar atau tidak cerita itu. Yang jelas, semenjak saya kecil. Saya tak pernah melihat ada danau kecil di kampung kami. Sekeliling kampung hanya terdiri dari hamparan sawah yang subur. Milik salah satu juragan terkaya di kampung ini. Masih menurut ayahku pula. Juragan inilah yang menutup sumber air danau. Dan menjadikannya hamparan sawah yang luas. Mereka memang dikenal kaya raya. Karena keturunan juragan tanah jaman feodal.

Masa pun berganti. Hamparan sawah yang luas itu, sedikit-sedikit berpindah pemilik sepeninggal Sang Juragan. Kampung kami memang banyak menyedot perhatian dari para urban. Seiring menggeliatnya kehidupan ekonomi di kampung yang dulunya sepi ini. Banyak para pendatang yang membutuhkan tanah untuk tempat tinggal. Penghuni aslinya sendiri kian terpinggirkan ke daerah yang lebih sepi.

Salah satu daya tarik kampung kami adalah sumber air yang tak pernah kering. Walau musim kemarau panjang sekalipun. Mungkin karena dulunya kampung ini adalah danau. Air sumur yang kami gali, begitu jernih dan sehat. Tak pernah berbau asing. Ciri khas air pegunungan yang kata orang-orang modern menyebutnya sebagai Mineral Sparkling Water.

Namun dibalik itu semua. Saya mempunyai kegundahan tersendiri. Bagaimana jadinya kalau kampung ini terus berganti pemilik. Hamparan sawah dan hijaunya kebun tergantikan oleh rumah-rumah berdinding beton yang kaku dan bermuka abu-abu. Saya takut kalau suatu saat tak lagi mendapati Air abadi seperti yang saya dapatkan hari ini di tanah saya sendiri.

Saya takut Sang Air marah setelah danaunya dijadikan sawah. Setelah sawahnya dijadikan rumah. Setelah kebunnya dijadikan gedung pencakar langit. Seperti yang terjadi di kota-kota besar. Sang Air selalu marah di saat musim hujan atau musim kemarau. Karena tak lagi mendapatkan tempat yang layak. Karena tak lagi diperlakukan sebagaimana mestinya.

Ketika kubuka jendela, kegetiran menyergap
Apakah karena aroma rumput basah sehabis hujan
Apakah karena air hujan yang menumpas senandungku
Aku berjalan mengikuti sungai yang berliku
Aku bingung harus mengikuti air ke muara atau berbalik ke hulu

 
Yang pasti saya masih mencintai Sang Air. Masih mencintai kampung saya yang sunyi. Masih percaya pada tanah dan Ibu pertiwi. Meski tetap sangsi pada Penguasa Negeri ini.

No comments:

Post a Comment