Saturday 2 February 2013

MY LOVELY HOPELAND….. TAKENGON



Facebook : I Love Aceh
Twitter : @iloveaceh
Kalau saja tidak terjadi peristiwa 26 Desember 2004. Mungkin Anggito dan istrinya hingga kini masih menetap di Takengon. Sepupu jauhku itu terlalu cinta dengan kampung barunya. Selama lima tahun disana, dia tak jemu-jemu menggambarkan beragam keelokan alam semesta yang diciptakan Tuhan untuk rakyat Gayo. Dia memang seorang petualang sejati. Makanya memilih melanjutkan kuliah di jurusan kehutanan dan mengabdikan diri sebagai abdi negara di Takengon.


Anggito menggambarkan Takengon sebagai dataran tinggi diantara arak-arakkan awan dan kabut yang berhawa sejuk. Mirip daerah Pangalengan kalau di Bandung, Jawa Barat. Bumi orang Gayo itu merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Takengon terletak di sisi Danau Laut Tawar.
Bisa dibayangkan, betapa indahnya kawasan yang berbatasan langsung dengan sebuah danau. Anggito sering mengirimi saya cerita manis dan gambar-gambar yang menakjubkan tentang Danau Laut Tawar, Gua Puteri Pukes, dan Pantan Terong. Atau suasana perkebunan kopi yang menghampar luas dengan hijaunya. Kemujuran Anggito selalu membuat saya iri hati.


Takengon memang terkenal sebagai Onder Afdeeling Takengon di jaman kolonial Belanda. Potensi Bumi orang Gayo itu sangat cocok untuk budidaya Kopi Arabika, Tembakau dan Damar. Hingga di kemudian hari, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah perusahaan pengolahan Kopi dan Damar di Takengon. Sejak saat itu, kawasan Takengon berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi Dataran Tinggi Gayo, khususnya Sayuran dan Kopi.


Anggito selalu menceritakan Takengon dengan cara yang seru dan memikat hati. Saya semakin tertarik untuk mengikuti jejaknya. Siapa tahu, suatu hari nanti Tuhan memperkenankan saya untuk mencicipi keindahan Takengon lewat mata dan kepala saya sendiri. Bukan hanya mengkhayal dengan cerita dan photo-photo yang dikirim oleh Anggito.
Namun harapan saya pupus sudah. Karena seminggu setelah peristiwa 26 Desember 2004, Anggito dan sang istri kembali ke Bandung. Meninggalkan semua mimpi-mimpinya di Takengon. Kenangan yang tersisa dari Bumi Orang Gayo itu hanya Anggia, bayi mungil nan lucu yang tak pernah lekang dari senyuman.

Aa sebenarnya berat meninggalkan Takengon. Semua mimpi Aa berada disana. Namun Aa tak ingin melawan kehendak Ibu. Aa tak ingin Ibu cemas karena memikirkan Aa sekeluarga di Takengon. Padahal Takengon tidak kenapa-napa. Hanya ada longsor saja sebagai akibat gempa dahsyat. Bila semua sudah tenang kembali, Aa ingin kesana lagi sesegera mungkin. Aa telanjur cinta dengan Takengon
Air muka Anggito terlihat penuh penyesalan. Saya begitu trenyuh melihat kerinduannya pada Takengon. Dimata saya, dia terlihat seperti seorang ksatria yang baru saja terenggut dari tanah impiannya. Sebuah tanah impian yang diperjuangkan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.


Matanya kembali berbinar saat menceritakan Didong. Sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian Didong sangat digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah. Dan Anggito pun mulai menggemarinya.


Dalam Didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan nilai kearifan alam semesta. Didong adalah sarana berekpresi tanpa batas bagi setiap rakyat Gayo. Didalamnya ada semangat yang menghentak untuk keluar dari problema sosial, mengkritisi pemerintah dan memuja Tuhan sebagai penguasa alam semesta.
Saya hampir tak percaya, melihat Bad Boy seperti Anggito bisa jatuh cinta pada sebuah kesenian rakyat.
Setiap manusia selalu bermetamorfosis sesuai lingkungannya, Dik. Begitu juga dengan Aa. Yang mendapat kedamaian saat menatap indahnya Danau Laut Tawar. Atau menatap perbukitan curam yang mengelilinginya. Juga mendapat kekuatan magis saat mendengar syair-syair Didong diantara Burni Telong dan Gunung Geureundong
“ Sebegitu indahnya mereka? “
Kamu akan langsung jatuh cinta sepenuh hati saat menatapnya. Apalagi saat berpetualang menyusuri stalaktit di Loyang Karo dan Loyang Putri Pukes. Aa yakin kamu akan jatuh cinta setengah mati pada bumi Gayo. “

Mata Anggito menerawang jauh. Saya semakin jauh menyelami kerinduannya pada Takengon. Mungkin Takengon adalah cinta keduanya setelah cintanya pada keluarga. Andai saja waktu itu Anggito bertahan saja di Takengon. Tak perlu terburu-buru kembali ke Bandung. Mungkin sekarang dia dan keluarganya akan menikmati kemakmuran di Tanah Gayo.
Dia tetap bisa menikmati jutaan bintang di langit Takengon saat malam hari. Atau bersampan di keheningan Danau Laut Tawar saat pagi hari. Saya semakin menyesal melihatnya tersiksa karena kerinduannya pada Takengon. Andai waktu bisa membawanya kembali.


 Saya kembali menatap indahnya gambar-gambar tentang Takengon yang dibawanya serta. Delapan tahun sudah gambar-gambar itu menjadi bagian dari mimpi-mimpi Anggito. Entah sampai kapan dia dapat kembali menjejakkan kakinya. Membawa serta Anggia yang telah berubah menjadi gadis cantik yang beranjak remaja. Anggito ingin memperkenalkan Anggia pada tanah Gayo. Tempat dia pertama kali memperdengarkan tangisannya. Diantara semilir angin Takengon dan lantunan syair Didong yang mendayu-dayu.

Anggito menanti lambaian tangan Takengon untuk membawanya kembali ke tanah harapan. Kembali membaui harumnya aroma bunga kopi yang menyesakkan kepala. Bercengkrama diantara riak air danau yang menyejukkan jiwa. Kapankah itu terjadi? Hanya alam semesta yang bisa menjawabnya.


I love my Hopeland…. Takengon….

No comments:

Post a Comment