Wednesday 28 October 2015

SI BEBEK REVOLUSI




Gerimis kecil tadi malam masih menyisakan nuansa sendunya pagi ini. Udara begitu dingin diseling hembusan sepoinya angin. Memaksa tubuh untuk tak beranjak dari dalam selimut saking dinginnya udara. Namun kerinduanku pada hangatnya tempat tidur tak mungkin kuteruskan. Aku tak mau berurusan dengan tatapan melankolis ayah karena telat bangun. Lebih baik segera masuk kamar mandi. Mengguyur badan dengan air dingin seperti biasa. Dilanjutkan dengan beres-beres kecil di ruang tamu dan halaman rumah seperti biasanya.
Sebagai anak terkecil, aku hanya ditugaskan beres-beres. Beda dengan Teteh yang punya tugas khusus mencuci pakaian seluruh anggota keluarga di pagi hari dan menyetrikanya setelah pulang sekolah. Usiaku baru 6 tahun dan Teteh 10 tahun ketika Ibu meninggalkan kami di suatu malam yang senyap. Ayah selalu mengatakan kalau Ibu sudah berbahagia di tempat lain. Ini merupakan jalan terbaik baginya, karena dapat terlepas dari penderitaannya selama ini. Sudah dua tahun ini Ibu menahan sakitnya. Kematian adalah jalan terbaik untuknya.
Semenjak ibu berpulang, ayah memilih untuk melajang. Bujukan untuk menikah lagi dari kerabat dan tetangga tak pernah digubris. Aku dan Teteh tentu saja mendukung keputusan ayah. Kami tak mau punya ibu tiri. Bayangan ibu tiri yang galak seperti di film-film kerap mengintimidasi kami. Bahkan menghantui di mimpi-mimpi kami. Waktu kusampaikan pada ayah, beliau hanya tersenyum sambil meledek.
“ Makanya jangan banyak nonton film yang sedih-sedih. Jadi terbawa sampai mimpi “
“ Bukankah yang diceritakan di film itu berdasarkan kisah nyata Yah? “
“ Mungkin saja. Tapi yang pasti, sampai kapanpun, kalian gak akan mengalaminya. Ayah janji “. Ayah mengacungkan telunjuk dan jari tangan kanannya. Membuat perasaanku kembali tenang. Aku yakin kalau ayah akan menepati janjinya.
Hari-hari sepeninggal ibu, kami lalui dengan santai. Kehidupan kami tidak banyak berubah. Setiap pagi ayah mengantar kami ke sekolah dengan motor bebek 70-nya. Biasanya aku duduk ditengah diapit teteh. Kami menyebut motor ayah dengan sebutan si Bebek Revolusi karena warnanya merah putih. Si Bebek Revolusi gak pernah ngadat. Dia menjadi bintang yang bersinar sejak kehadirannya di tengah-tengah keluarga kami, 2 tahun sebelum ibu berpulang.
Sekepal nasi ketan ditemani secangkir teh panas, mengawali pagiku bersama ayah dan teteh hampir di setiap pagi. Semenjak ibu tidak ada, ayahlah yang bertugas memasak. Walau masakannya tidak bermacam-macam seperti masakan ibu, tapi rasanya tidak kalah. Ayah memang hebat. Beliau tak hanya menjadi ayah yang baik, tapi mampu mengisi kekosongan hati kami atas hadirnya sosok ibu. Kehadirannya membuat kami tak merasakan kesepian baik di musim hujan atau musim kemarau sekalipun. Aku selalu rindu dekapannya yang hangat.
Ayah yang membuat kami tegar menghadapi dunia. Bersamannya, kami serasa memiliki dunia dan seisinya. Kami tak pernah kehilangan sosoknya saat kembali ke rumah. Beliau yang mengajarkan aku dan teteh untuk menaklukan dunia yang rumit.
Belasan tahun sudah kami menjalani hari bersamanya. Bersama si Bebek Revolusi, ayah mengajari kami tentang sebuah kesederhanaan yang penuh makna. Beliau tak pernah mengganti motornya dengan yang lebih baru. Bahkan ketika teteh beranjak remaja dan ngambek gak mau diantar gara-gara malu dengan si Bebek Revolusi, ayah menjelaskan dengan penuh kasih.
“ Sebuah benda diciptakan manusia karena fungsinya. Tak perlu malu karena kita hanya memiliki yang sederhana. Teteh pasti lebih mengerti bagaimana cara berterima kasih atas jasa-jasa si Bebek Revolusi untuk kehidupan kita.. “ Ayah tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak teteh.
Ketika kami beranjak remaja, perlakuan ayah perlahan berubah. Beliau lebih suka menjelaskan, daripada memerintah ini-itu. Penjelasannya yang logis membuat kami tak punya alasan untuk menentangnya. Begitu juga ketika kami mulai melupakannya karena lebih suka menghabiskan waktu dengan teman-teman diluar rumah. Ayah masih bisa tersenyum ketika membukakan pintu menyambut kami yang kelelahan setelah seharian ikut baksos di sekolah.
“ Ayah hanya ingin kalian lebih hati-hati “ Ayah mengurai cerita di meja makan. Waktu itu aku tak begitu memperhatikan raut wajahnya karena sangat lapar. Yang ada diotakku hanya bagaimana caranya supaya laparku terpuaskan. Aku masih belum mengerti juga ketika memergoki ayah sedang merenung sambil memandangi si Bebek Revolusi di temaramnya malam.
Andai pada saat itu aku tahu kalau ayah sedang merenungi kesendiriannya karena anak-anak yang sudah sekian lama menemaninya menghilang satu-satu. Seperti kupu-kupu yang perlahan menjauh setelah berhasil melepaskan diri dari kepompongnya.
Ketika aku mulai belajar mengendarai si Bebek Revolusi, ayah mengajariku dengan telaten. Begitupun saat aku sudah mahir mengendarainya. Ayah yang selalu mengingatkan untuk memakai helm dan berkendara dengan tertib di jalan. Jujur aku sering mengabaikan wejangannya. Makanya aku tak berani terus terang ketika lututku luka akibat jatuh dari motor.
Membayangkan apa yang sudah dilakukan ayah untuk kami, membuatku merasakan sesal yang menggunung. Andai waktu mampu diulang dengan segala kemegahannya. Pasti sesal ini tak akan begitu menyesakkan dada.
………………………………………………………………………………………….
Kupacu motorku menuju rumah teteh. Bayanganku mengenai wejangan ayah terus menghantui. Menyebabkanku memperlambat laju motor. Di sepanjang jalan yang kulalui, kenangan bersama ayah seperti bentangan layar berisi perjalanan hidup kami. Masih kurasakan betapa eratnya pelukanku pada pinggangnya. Sesekali tangan kiri ayah mengusap tanganku untuk menguatkan.
Teteh sudah menungguku di depan rumahnya. Langsung memburuku begitu motor berhenti di halaman rumah. Tangisnya langsung pecah.
Teteh kangen kamu “ Ia berbisik disela-sela tangisannya. Tubuhnya semakin gemuk. Aku sampai pangling dibuatnya. Kehamilan pertamanya membuat timbangan teteh naik lima  kilo.
“ Makanya aku langsung kemari. Takut teteh keburu marah “ Aku malah menggodanya sambil nyengir. Teteh memukul punggungku perlahan. Aku ingin tertawa melihatnya merajuk karena gayanya gak banget. Pasti gara-gara suaminya yang selalu memanjakannya sehingga Teteh menjadi bertingkah ajaib seperti ini.
Seingatku baru kali ini teteh merajuk. Sepanjang kebersamaan kami selama lebih dari dua puluh tahun di rumah ayah, tak pernah kulihat dia merajuk, kecuali saat ngambek karena gak mau diantar si Bebek Revolusi. Selebihnya, teteh termasuk perempuan tegar yang pernah kukenal. Makanya terkadang aku membandingkan mantan-mantanku dengan ketegarannya.
Aku menolak ketika teteh mengajak masuk rumah.
“ Kerinduanku padanya sudah tak tertahankan lagi..” Aku berkilah ketika teteh terus mendesak. Sejenak dia memandang bola mataku lekat-lekat. Sisa air mata masih menggenang dipelupuk matanya. Kesenduannya membuat hatiku terjerembab jengah.
“ Serindu itukah kamu padanya? ”
“ Kerinduan yang disesaki sesal. Sepanjang pengembaraanku di Kyoto tiga tahun ini, rasanya tak ada yang lebih membahagiakan selain kebersamaan dengannya saat kita kecil dulu. Sayangnya baru sekarang aku menyadari kalau berada disisinya seperti menggenggam dunia dan langit sekaligus. Apakah teteh tak memiliki kerinduan yang sama? “
Teteh tak menjawab. Ujung jempol kakinya mengais-ngais debu di lantai. Keheningan menelingkupi sekeliling. Aku menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang konyol. Aku yang seorang laki-laki dewasapun begitu merindukannya. Apalagi teteh yang notabene seorang perempuan. Pasti perasaannya lebih sensitif. Kami memiliki kenangan kebersamaan yang melimpah ruah. Bagaimana mungkin teteh tidak memiliki kerinduan yang sama. Bahkan mungkin kerinduannya melebihi kerinduan yang kumiliki.
Kugenggam tangan teteh dan kembali memeluknya “ Maafkan aku Teh.. “. Dalam dekapanku tubuhnya terguncang menahan tangis. Perasaanku tambah resah.
“ Andai Teteh tidak memberinya hadiah itu. Pasti semuanya tak akan terjadi. Maafkan Teteh karena telah mengirimnya menuju api “
“ Sudahlah. Kita sama-sama ingin membahagiakannya, walaupun dengan cara yang kita anggap benar.. “ Aku mencoba menenangkannya. Bagaimanapun, kepulanganku ke Bandung mesti memberikan kebahagiaan pada orang-orang tersayang. Bagiku, Kyoto tak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan Teteh. Aku rela meninggalkan semua kemapanan di negeri orang, demi kebahagiaan lain di negeri sendiri. Kenangan-kenanganku bersama ayah dan Teteh lebih penting dari segalanya.
“ Kita pergi sekarang? “ Teteh melepaskan pelukan kami. Aku mengangguk tanpa berkata-kata. Kami beriringan menuju motor. Kusodorkan helm masa lalu kami kepadanya. Tangan Teteh sedikit gemetar menerimanya. Kucoba menguatkan perasaannya dengan tersenyum.
Perlahan kujalankan motor yang sangat bersejarah ini keluar dari halaman. Dengan kecepatan ringan kami melaju membelah jalanan yang sedikit basah. Musim hujan belum usai. Sisa-sisa hujan tadi pagi masih tercium harumnya. Aku suka sekali dengan harum itu. Tak hanya mengingatkanku pada masa lalu, tapi harum hujan itu mengingatkanku juga tentang sekepal nasi ketan berikut teh panas yang disajikan ayah hampir setiap pagi.
Dari kejauhan, bukit kecil di ujung desa itu tampak menghijau. Kabut tipis mengelilinginya. Sinar matahari yang masih malu-malu belum sanggup menyingkirkannya. Perasaanku mulai tidak karuan. Semua kenanganku bersamanya langsung mengerubungi alam bawah sadar. Membuat dadaku sesak. Cengkeraman tangan Teteh yang membonceng dibelakang menyadarkanku untuk kembali waspada mengendarainya. Andai…
……………………………………………
Onggokan tanah merah dihadapan kami. Membisu dalam kesenduan pagi. Kucondongkan wajah untuk mencium kayu nisan bertuliskan nama seseorang. “ Ayah.. maafkan aku karena telah membuatmu kesepian di akhir perjalanan. Andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin kembali disaat kita sedang bahagia bersama Teteh..”
Tak terasa, airmataku jatuh satu-satu diatas pusara ayah. Sementara Teteh sudah sejak tadi berurai air mata disampingku. Dari mulutnya tak henti keluar kalimat-kalimat penyesalan. Aku memahami penyesalannya. Dialah yang paling merasa bertanggungjawab atas kepergian ayah. Karena sebulan lalu berkeras membelikan ayah sebuah motor baru sebagai hadiah ulang tahunnya.
Tak dinyana, bersama motor pemberian teteh-lah, pengembaraan ayah di dunia menemui akhir yang tragis. Beliau kecelakaan ketika mencoba motor baru itu di hari ulang tahunnya. Sementara aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa karena sedang menunaikan tugas di Kyoto.
“ Seharusnya Teteh membiarkan ayah memilih berbahagia bersama dia “ Teteh melirik pada Si Bebek Revolusi yang terparkir dengan manis di belakang kami. Entah kenapa, aku seperti melihat sosok ayah sedang menyender di motor itu sambil tersenyum memandang kami.
Kugeleng-gelengkan kepala untuk mengusir halusinasi yang baru saja kudapatkan. Tapi tak berhasil. Sepenuh hati kukuatkan perasaan kalau ayah kini sudah bahagia bersama ibu di genggaman langit. Aku yakin kalau mereka tengah bergandengan tangan dan bercengkrama diantara awan-awan sambil memandang kami dari atas.
“ Ayah.. aku berjanji untuk menjaganya sesuai keinginan ayah. Dia motor kebanggaan ayah kan?. Maafkan kami karena selama ini tak pernah mencintainya, seperti ayah mencintainya. Dia memang hanya benda yang bisa bergerak sesuai perintah tuannya. Tapi sesuai kata ayah, dia juga memiliki sisi sensitif yang tak pernah terjamah kalau kita tidak memahaminya..” Kuurai kalimat-kalimat peneguhan dihadapan pusara ayah. Ini luar biasa, karena sebelumnya aku tak pernah mampu merangkai kata-kata indah.
***

No comments:

Post a Comment