Tuesday 11 December 2012

Selvi Dan Sahabat Disabilitasnya Yang Penuh Kasih




Anak manis berambut panjang,
Sejenak kau datang
Tinggalkan merah goresan cinta
Yang tak gampang ku lupa





Suatu hari Selvi memperkenalkan temannya pada saya. Seorang gadis kecil berambut gelap yang indah. Sebelumnya saya tak pernah terusik dengan kehadiran gadis kecil itu. Maklum keponakanku itu kerapkali mengajak teman-teman seusianya maen ke rumah. Biasanya mereka langsung asik bermain pianika atau seruling.
Selama ini Selvi memang ditugaskan gurunya untuk mengajarkan teman-temannya memainkan alat musik sederhana itu. Namun kali ini teman yang diajaknya sedikit mengusik perhatian saya. Berawal dari suasana yang tak biasa diantara keduanya.
Sudah sejam mereka bermain, saya tak mendengar sedikitpun suara sang gadis kecil teman Selvi. Yang saya dengar hanya suara nyaring Selvi yang berusaha menjelaskan cara meniup dan memencet tuts pianika.


Karena penasaran, saya menengok mereka ke ruang tengah tempat mereka bermain. Ternyata Selvi sedang berusaha menjelaskan pelajaran musiknya dengan cara yang membuat saya sedikit mengerutkan kening. Gadis kecil didepannya dengan tekun menyimak uraian Selvi. Sesekali kedua tangannya memperagakan sesuatu dengan ke sepuluh jarinya. Dan dibalas Selvi dengan gerakan jari jemari juga.
Saya cukup takjub melihat cara berkomunikasi mereka. Rupanya sang gadis kecil, seorang tuna wicara. Kedua gadis cilik itu bertukar sapa dengan riang. Saya tak habis pikir, bagaimana Selvi bisa mengerti apa yang diperagakan temannya. Canda tawa keduanya seakan tak terbatas. Mereka asik-asik saja bersenda gurau tanpa terhalang oleh bahasa yang berlainan.

Saya bertanya kepada Selvi setelah sang teman pulang. Dengan cara bagaimana dia bisa memahami apa yang dikatakan temannya. Gadis sepuluh tahun itu dengan santai menjawab,
“ Gampang Om… Selvi ngerti kok apa yang dikatakan Chika….Tinggal pake ini.. dan pake ini….” Selvi menunjuk dada dan kepalanya. Lalu dia membentuk sebuah gambar hati dengan menyatukan dua pasang jempol dan telunjuknya sambil tersenyum.
“ Darimana kamu belajar itu ? “
“ Dari Chika…. “ Senyum dibibir Selvi kian mengembang.

Ternyata komunikasi yang terjalin diantara anak kecil, tak selalu memerlukan bahasa yang sama. Mereka juga cepat berbaur secara alami. Tak pernah ada kendala yang berarti meski secara fisik mereka berbeda.
Manusia dewasalah yang selalu memberikan batasan tertentu hanya karena fisik sesamanya berbeda. Sayapun perlu belajar banyak dari Selvi.


 Di hari yang lain, Selvi memperkenalkan Giga pada saya. Ternyata teman kecilnya inipun tidak sesempurna Selvi. Lelaki cilik ini tidak dapat melihat. Namun mempunyai perasaan yang halus dan murah hati. Saya membuktikannya saat sang lelaki cilik ngotot pada sang pengasuh untuk tak melupakan ibunda Selvi yang perlu dibantu.
“ Bibi jangan lupa pada Enin Surabi ya… Bilang sama Mama, zakatnya harus diberikan pada Enin Surabi… “
Teman-teman Selvi memanggil ibunya dengan Enin Surabi karena ibu Selvi berjualan kue Serabi Bandung di depan rumah.

Teman-teman Disabilitas Selvi ternyata anak-anak manis yang berhati penuh kasih. Saya sampai kehabisan kata-kata karena tak menyangka bahwa anak-anak seperti mereka begitu mempedulikan orang lain ditengah kekurangannya. Suatu pengalaman berharga yang membuktikan bahwa anak-anak istimewa ini mempunyai cara pandang berbeda tentang dunia dan seisinya.

Mereka hanya butuh perlakuan wajar dari orang-orang disekelilingnya. Tak membutuhkan perlakuan khusus karena keistimewaan mereka. Seperti perlakuan wajar Selvi yang dilakukan terhadap teman-teman istimewanya itu. Hingga mereka bisa bersenda gurau bersama. Menikmati dunia masa kanak-kanaknya tanpa dibedakan oleh beragam tata cara rumit yang diciptakan manusia dewasa.

Sepertinya saya tertinggal jauh dari sikap Selvi memperlakukan teman-teman Istimewanya. Saya perlu belajar banyak dari Selvi, keponakanku tersayang.

No comments:

Post a Comment