KEPONAKAN-KEPONAKAN
TERSAYANG
By Deddy k. Sumirta
Sejauh ini aku
tak pernah menyangka bahwa caraku memperlakukan semua keponakan bisa mejadi
sebuah cerita unik. Ini berawal dari kebiasaanku mengajak beberapa keponakan
yang masih kecil untuk jalan-jalan. Entah ke pasar pagi Unpad atau ke sebuah
mal di kawasan Jatinangor bila ternyata hari itu aku terlambat bangun. Memang
tak ada acara yang ‘wah’ saat kami kesana. Hanya berburu kuliner. Bila ada uang
lebih, mereka kubelikan beberapa barang atau mainan yang lucu-lucu. Disamping
itu, aku juga mengajarkan pada mereka untuk berani naik kuda atau menaklukan
beberapa permainan di arena mini out bound. Semua itu kulakukan
agar keponakan-keponakanku berani tampil di muka publik. Maklum mereka termasuk
anak-anak desa yang sifat pemalunya sedikit lebih tinggi dari anak-anak kota.
Biasanya,
keponakan yang kuajak adalah anak yang sudah berumur minimal tujuh tahun. Di
usia seperti itu, aku tak begitu repot untuk mengawasinya. Bila kurang dari
tujuh tahun, aku pasti kerepotan bila tiba-tiba mereka kebelet pipis,
merengek-rengek ngambek atau bahkan kebelet pup.
Kalau usianya sudah tujuh tahun, mereka lumayan sudah mandiri dan bisa sedikit
mengurus dirinya sendiri. Jadi kebersamaan kami bisa lebih menyenangkan tanpa gangguan
dan rengekkan.
Sebenarnya aku
tak pernah menyangka bahwa perlakuanku kepada mereka begitu membekas di ingatan
anak-anak kecil itu. Rupanya pengalaman kebersaan kami begitu menyenangkannya
hingga tak pernah mereka lupakan. Terbukti saat mereka beranjak remaja dan
memiliki komunitas bermain sendiri,
cerita tentang akhir pekan itu kerap kudengar diceritakan oleh keponakanku pada
teman-temannya.
Aku jadi merasa
tersanjung kalau mendapati mereka membicarakan semuanya. Berarti
mereka tetap ingat pada kegembiraan kami. Meskipun dulu aku sempat marah ketika
keponakan-keponakanku berselisih paham karena program jalan-jalan itu
kuhentikan. Ceritanya begini :
Seiring waktu,
keponakanku bertambah. Semula ada dua orang
keponakan yang rutin aku ajak jalan-jalan. Tahun berikutnya tambah satu orang lagi. Tahun
berikutnya tambah lagi. Bahkan keponakan yang tidak satu komplek perumahan
dengan aku pun ikut-ikutan. Aku cukup repot bila anak-anak yang kubawa lebih
dari empat orang.
Disamping repot mengawasi, dana operasional untuk membiayainya pun cukup
menguras dompet. Apalagi kalau banyak, mereka jadi lebih berani tunjuk ini
tunjuk itu. Alhasil di kemudian hari, aku memutuskan untuk menghentikan acara
jalan-jalan di akhir pekan itu secara permanen. Demi Tuhan, rugi
bandar.
Rupanya keputusanku
menghentikan acara jalan-jalan, menjadi semacam perselisihan diantara mereka.
Dari cerita yang kudapat dari kakak-kakakku, mereka kerapkali saling tuding
sesamanya saat melihat sepupunya mempunyai mainan baru. Dikiranya aku yang
membelikan. Belum lagi setiap Minggu pagi tiba. Satu persatu mengintip rumahku
dipagi buta. Semata-mata untuk memastikan bahwa tak ada satu keponakanku pun
yang kuajak jalan-jalan pagi itu.
“ Sampai
segitunya mereka berselisih Kak ? “ Aku bertanya.
“ Iya. Mereka
takut kalau kamu lebih memilih sepupunya daripada dia sendiri“
Cerita mengenai
keponakan-keponakanku pun terus terurai. Mereka
kerap kali memancing rasa marah orang tua mereka. Dengan sengaja mengusili
adiknya yang masih kecil, atau tanpa sebab merusak mainannya sendiri. Apalagi
saat mendengar aku memanggil salah satu sepupunya. Mereka langsung mengintip,
apa gerangan yang dilakukan oleh kami. Padahal biasanya aku hanya menyuruh
salah satu diantara mereka untuk membelikanku sesuatu. Karena rumah kami
berdekatan satu sama lain. Sambil berseloroh, kakakku minta pertanggungjawaban
atas kekacauan yang kutimbulkan.
Aku baru tahu kemudian, setelah membaca artikel tentang psikologis anak.
Ternyata keponakan-keponakanku mengalami rasa cemburu yang berlebihan tatkala
mendapati bahwa kebiasaan yang sudah dijalaninya terhenti begitu saja. Akibat
kemunculan anggota baru. Hingga mereka berusaha mencari perhatian dengan cara
mereka sendiri agar kesenangan yang dulu didapatnya, terulang kembali. Mereka
jadi saling curiga, sensitif dan cepat tersinggung.
Wah-wah, mengapa bisa jadi seperti ini ya. Aku sendiri bingung. Aku bukan
orang tua
mereka. Aku cuma ingin ikut menyayangi mereka. Mengapa aku yang harus tanggung
jawab. Apakah salah kalau aku berusaha menjadi seorang paman yang baik bagi
mereka ?
Ahh… Seorang mahluk hidup
yang bernama Manusia memang terlalu unik. Tak
pernah ada matinya. Termasuk anak-anak sekalipun.
* http://www.ayahbunda.co.id/artikel/Balita/Psikologi/tanda.anak.cemburu/001/007/1237/2
No comments:
Post a Comment