Ada-ada
saja memang kalau menyangkut anak tersayang. Seperti yang tengah menimpa Teteh (kakak:Sunda). Pasalnya, Teteh sedang
kebingungan dengan tugas mengarang anaknya yang masih kelas tiga SD. Dia sampai
menelpon khusus pada saya tengah malam buta. Menanyakan ini itu mengenai tugas
mengarang anaknya.
Sebenarnya
hanya kata sepele yang menjadi tugas mengarang untuk anaknya itu. Yakni kata Korupsi.
“
Lalu apa masalahnya ? “ Tanya saya.
“
Teteh bingung mau menerangkannya bagaimana. Lagian sebenarnya korupsi itu apa
sih. Yang teteh tahu hanya koruptor seperti Gayus Tambunan, Angelina Sondakh
dan Nazarudin.. memang Korupsi sama artinya dengan Koruptor
? “
Hahaha…
saya jadi tertawa mendengarnya.
Konsentrasi saya jadi buyar mendengar
pengakuan lugunya. Teteh memang hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang
kesehariannya dihabiskan dirumah. Mengurus rumah tangga dan tenggelam bersama siaran
infotainment atau sinetron televisi.
Wajar
saja kalau kebingungan mendiskripsikan arti kata Korupsi secara ilmiah. Teteh
tentu tak mau terlihat konyol di depan sesama orang tua murid di sekolah, bila mengajari
anaknya mengarang dengan seadanya. Maklum Teteh termasuk kelompok ibu pengantar
anak sekolah yang aktif. Seringkali terlibat diskusi sesama anggota kelompok
mengenai pelajaran sekolah anak-anak mereka. Teteh harus terlihat menjadi trend
setter diantara ibu-ibu itu. Hehehe.. dasar…
Paginya,
mau tak mau saya berkunjung ke rumah Teteh. Mumpung hari Minggu, sekalian
silaturahmi dan mencari makan siang gratisan. Membawa setumpuk data dari
beberapa sumber di internet seperti Wilkipedia dan situs-situs lain. Tentu data
yang menyangkut sebuah kata, yaitu Korupsi.
Akhirnya
saya memberi kuliah pagi untuknya. Sambil menemaninya memasak di dapur. Sang
empunya tugas, yakni keponakanku, Larasati. Duduk manis di meja makan. Menanti
setiap kata yang meluncur dari mulut saya sambil memegang pulpen dan kertas.
Sayapu mulai bercerita :
“ Korupsi
berasal dari bahasa latin corruptio atau corrumpere yang
berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara lebih lugas
lagi, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun
pegawai negara, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka. “
“ Ah Teteh belum mengerti “ Teteh menyela.
“ Kalau dari sudut pandang hukum, secara garis besar korupsi
meliputi: penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara “
“ Bahasa kau tuh terlalu tinggi.. Teteh tambah tidak mengerti
“. Teteh kembali protes. Saya pun jadi garuk-garuk kepala. Mencari cara untuk
menjelaskan padanya dengan persepsi dia yang terlalu sederhana.
“
Pokoknya Korupsi itu tak ubahnya pencuri, Cuma
penghalusan makna saja. Kata Amin Rais (1993), dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi
sebagai suatu Keharusan”, Korupsi
itu dibedakan menjadi :
1.
Korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu
korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar
dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya.
Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat
tertentu agar bisa mendapat ijin usaha.
2. Korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu
korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan
kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan
setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri
dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu
yang memberikan uang tersebut.
3. Korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu
perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga : anak-anak, keponakan atau
saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu
para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan
keuntungan.
4. Korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap
kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan
wewenang dan kekuasaannya “
“ Contoh yang paling sederhana apa ?”
Teteh terlihat kian mumet dengan penjelasan saya “
“ Waktu Teteh bikin SIM tempo hari yang
gak ikutan test tapi dapet SIM karena membayar, itu salah satu bentuk korupsi
juga..”
“ Ih.. mamah curang.... “ Larasati
menggoda ibunya.
“ Atau waktu Dumai ikut UAN SD kemarin,
Teteh bersama ibu-ibu lain sibuk membawa buah tangan dan diberikan pada guru
pengawas ujian. Itu juga salah satu percobaan penyogokkan. Dan itu termasuk
korupsi “
“ Sampai sejauh itu Dek ? “ Teteh menghela
nafas panjang.
“ Ya seperti itulah. Jadi Korupsi itu
bukan hanya sebatas mencuri uang rakyat saja seperti yang dilakukan Gayus
Tambunan atau Nazarudin. Tapi kebiasaan-kebiasaan kecil seperti yang Teteh
lakukan kemarin juga termasuk cikal bakal Korupsi “
“ Tapi kan Teteh hanya menitipkan Dumai
pada guru pengawasnya, biar ujian dia sukses. Lagian yang diberikan pada
pengawasnya hanya penganan kecil saja. Tidak seberapa. Begitu juga waktu
mengurus SIM kemarin. Hanya beberapa lembar uang terima kasih..”
“ Yah.. kebiasaan-kebiasaan itulah yang
telanjur menjadi budaya di kalangan kita. Bayangkan kalau ada seribu orang yang
seperti Teteh. Orang yang menerimanya kan bakal jadi kaya raya secara mendadak.
Betul tidak ? “
“ Iya juga ya.. “
“ Budaya seperti itu yang nantinya akan
merusak generasi bangsa. Mereka terbiasa dengan hal yang dianggap wajar. Anak-anak
kita selanjutnya akan menjadi sosok yang tidak punya hati nurani terhadap
sesamanya. Bila sudah begitu, anak-anak kita akan mudah melakukan Korupsi.
Seperti kata seorang psikolog Jack Bologne. Bahwa penyebab korupsi itu adalah
GONE :
1. Greed : Serakah.
Selalu kurang. Tidak puas dengan apa yang dimiliki. Selalu ingin memiliki yang
lebih banyak,lebih baik dengan cara apapun
2.
Opportunity : Adanya peluang karena suatu system yang buruk
3.
Need : Adanya
suatu kebutuhan dari si pelaku karena sikap hedonis dan terlalu konsumtif.
4.
Exposes : Hukuman yang rendah bagi sang pelaku korupsi.
Bahkan lebih rendah dari maling
ayam misalnya. “
“
Kalau Agama bisa mencegah tidak ? “
“
Tentu bisa. Korupsi kan
memang diharamkan dalam agama. Tapi kan
banyak juga pemuka agama yang korupsi. Kalau menurut saya sih, kuncinya
disamping agama tentu harus dimulai dari kebiasaan kecil dirumah. Biar karakter
si anak terbentuk sejak dini. Misalnya bersikap jujur tentang apapun. Teteh
jangan mudah marah kalau Laras dan Dumai berbuat salah dan bercerita jujur pada
Teteh. Beri mereka penghargaan tentang kejujurannya. Tapi jangan lupa beri
hukuman pula atas kesalahannya “
“
Contohnya ? “
“
Ih Teteh masa gak tahu… Kalau mengerjakan Pe-er, biarkan mereka sendiri yang
mengerjakannya. Teteh hanya mengarahkan saja. Jangan royal memberi hadiah pada
gurunya saat akan ujian atau kenaikan kelas. Biarkan berjalan seperti apa
adanya. Kalau mereka ngompol di kasur, biarkan mereka jujur melapor pada Teteh.
Lalu menghukum mereka dengan cara memnyuruh mereka menjemur kasur dan mencuci
sprei dan selimut.. “
“
Ah ribet amat… pasti malah jadi panjang urusannya..”
“
Itulah gunanya orang
tua Teh… Mendidik anak menjadi seorang yang jujur dan baik memang ribet dan
rumit. Tak bisa instant dan menyerahkan sepenuhnya pada guru mereka di sekolah.
Yang ribet itu lama-lama akan menjadi biasa kok. Percayalah”
“
Wah kamu.. kayak yang sudah punya anak saja !. Sepertinya hal demikan tak akan
berpengaruh pada bangsa dan negara “
“
Eits jangan salah. Siapa tahu Dumai atau Larasati nantinya jadi anggota DPR,
Menteri atau Presiden. Kebiasaan sederhana yang Teteh ajarkan, akan menjadi
pelajaran yang sangat berharga untuk mereka. Semua hal yang besar selalu
berawal dari hal yang kecil dan sederhana. Contohnya tugas mengarang Larasati
ini. Membuat bingung Teteh kan
? “
“
Hmm… “
“
Pendidikan yang terbaik, semua berawal dari pendidikan keluarga yang baik. Bila
ingin tak terjadi korupsi di negara ini, maka mulailah pendidikan positif
tentang Stop Korupsi dari keluarga
ini. Setuju kan
Teh ?”