http://www.dexa-medica.com/ |
Menejer tempat saya
bekerja sempat heran ketika saya menukarkan beberapa kuitansi pengobatan di
kantor. Bukannya apa-apa, selama dua minggu berobat jalan ke dokter suatu
klinik. Biaya yang saya keluarkan termasuk “sederhana” untuk ukuran beliau.
Dalam benaknya, selama dua minggu pengobatan, saya pasti menghabiskan biaya
yang cukup besar. Mengingat penyakit yang saya derita cukup “menyeramkan”.
Itu terjadi berkat
resep obat yang diberikan dokter, semuanya Obat Generik. Saat pemeriksaan
berlangsung, saya memang cukup cerewet dengan sang dokter. Maklum sang dokter
termasuk kenalan saya. Jadi bisa lebih berani untuk tanya ini itu. Dan memohon
keringanan dengan meminta resep Obat Generik.
Sebenarnya sudah
menjadi hak setiap pasien untuk memilih resep obat yang ditawarkan. Bukan
karena kedekatan secara emosional dengan sang dokter. Kewajiban setiap dokter
lah untuk menjelaskan setiap obat yang diresepkannya pada setiap pasien. Tanpa
memandang latar belakang, kedekatan emosional, suku, ras agama atau apapun.
Setiap pasien berhak mendapatkan perlakuan yang sama.
http://www.dexa-medica.com/ |
Obat
Generik atau lebih tenar dengan sebutan Obat Generik Berlogo
(OGB) merupakan program Pemerintah Indonesia yang diluncurkan pada
tahun 1989. Tujuannya untuk memberikan alternatif obat dengan kualitas
terjamin, harga terjangkau, serta ketersediaan obat yang cukup bagi seluruh
lapisan masyarakat.
http://www.dexa-medica.com/ |
Disebut Obat
Generik, karena obat berlogo lingkaran
hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "Generik" di bagian tengah
lingkaran ini dikenal sebagai obat yang ramah di kantong (alias murah meriah).
Meski begitu, kualitas yang dipunyai obat Generik, sama dengan obat
serupa yang dikeluarkan oleh produsen komersil.
http://www.dexa-medica.com/ |
Obat
Generik bisa murah dikarenakan obat yang bersangkutan (produksi awal)
telah habis masa patennya (off patent),
sehingga dapat diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar
royalty pada pemilik hak paten awal. Masa paten suatu obat biasanya sekitar dua
puluh tahun dikurangi masa uji klinis. Sehingga efektif kehidupan paten suatu
obat cenderung antara tujuh sampai dua belas tahun.
Walau hanya meniru
komposisi awal obat paten, produsen OGB harus memenuhi
standarisasi tertentu. Yakni memiliki sertifikat COA (dokumen otentik yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk menjamin
kemurnian dan kualitas obat), sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), disahkan BPOM RI (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia) serta lulus
uji bio-availabilitas dan bio-ekivalensi.
http://www.dexa-medica.com/ |
Pengujian bio-availabilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa cepat
kandungan zat aktif dalam obat tersebut diserap oleh darah menuju sistem
peredaran tubuh. Sedangkan uji bio-ekivalensi dilakukan untuk
membandingkan profil bioavailabilitas dengan tiap bentuk obat yang tersedia,
meliputi tablet, kapsul, sirup, dan sebagainya.
Disamping itu, OGB juga tidak mengeluarkan biaya promosi yang berlebihan seperti
obat komersil lain. Sehingga budget promosi bisa dialihkan untuk menekan biaya
produksi. Belum lagi produksi obat yang dilakukan secara besar-besaran hingga
dapat menekan ongkos produksi.
Sejauh ini, rekomendasi
OGB oleh dokter, hanya dilakukan di kota-kota
kecil. Ini terbukti dengan perbedaan biaya berobat ke dokter di kota besar dengan di kota
kecil. Bila berobat di klinik kota
kecil. Dengan biaya relatif terjangkau, seorang pasien sudah mendapatkan
pemeriksaan dokter dan sekantung obat. Tak perlu susah-susah menebus obat lagi
di apotek. Bila diperhatikan, semua obat yang diberikan dokter, seluruhnya
berlogo OGB.
Beda dengan ketika
berobat di klinik kota
besar atau di rumah sakit yang cukup bagus dan terkenal. Sang dokter hanya
memeriksa pasien dan menuliskan resep obat. Selanjutnya sang pasien harus
menebus resep di apotek. Biasanya sang pasien merasa “dirampok”. Karena harga tebusan obat yang gila-gilaan. Padahal,
tidak semua pasien, mampu menyediakan dana besar untuk menebus resep obat.
http://www.dexa-medica.com/ |
Sudah seharusnya
cara-cara “pembodohan” semacam ini
dihentikan. Sosialisasi yang gencar harus dilakukan pemerintah untuk melindungi
warga negaranya. Caranya bisa dengan
memasang poster atau pamplet yang menarik di setiap klinik, rumah sakit atau
balai pengobatan di seluruh Indonesia mengenai sosialisasi Obat Generik Berlogo.
Jangan hanya sosialisai
gencar di media televisi, surat
kabar atau internet. Biasanya setiap pasien dan keluarganya akan lupa bahwa ada program OGB saat menderita sakit.
Mereka hanya panik dan sibuk menahan sakit. Jadi bayangan tentang program OGB hilang dari benak mereka.
Bila poster sosialisasi
OGB ditempel di ruang tunggu setiap klinik, rumah
sakit dan balai pengobatan lainnya. Minimal setiap pasien atau yang mengantar
teringatkan kembali. Jadi bisa lebih kritis saat menghadapi dokter di ruang
pemeriksaan. Mereka bisa meminta sang dokter untuk meresepkan OGB untuk penyakit yang dideritanya.
http://www.dexa-medica.com/ |
Tak usah takut. OGB tak kalah kualitasnya dengan obat paten yang komersil. Bahan baku dan cara pembuatannya
sama. Lagi pula, hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan sakit. Obat dan semacamnya
hanya sebuah media atau jalan untuk menuju kesembuhan.
Benar apa kata Slamet
Budiarto, Sekjen (PB IDI) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. “Masyarakat seharusnya menggunakan haknya untuk meminta dan
mendapatkan resep obat generik dari dokter,”.
Bila seorang pakar
sudah mengatakan demikian. Apalagi yang diragukan.
Generasi OGB |
No comments:
Post a Comment