Saya mengenalnya sebagai Ben.
Anak tiri dari kakak laki-laki kandung saya. Ben dibesarkan oleh keluarga yang sangat sederhana.
Kakak kandung saya memang hanya seorang tukang ojek yang penghasilannya tidak
menentu. Sedangkan sang istri, yaitu ibu kandung Ben, mantan seorang pelayan
café di sebuah pub ternama di kota Bandung.
Saat saya berjumpa dengan Ben,
dia masih anak kecil yang sangat lucu. Pantas saja kalau kakak saya begitu
menyayanginya seperti anak kandungnya sendiri. Sayapun tak keberatan saat
dipanggil paman olehnya. Lagian Ben cukup santun dan menyenangkan saat bertemu
dengan saya.
Ketika menginjak remaja,
seperti anak remaja pada umumnya. Ben mulai nakal dan mencicipi berbagai hal
yang kadang membuat orang tuanya marah. Apalagi saat itu kehidupan keluarga kakak saya mulai kembang
kempis. Maklum sang istri tak lagi bekerja di café. Karena usia yang mulai
menua. Sudah kodrat alam untuk tergantikan oleh gadis-gadis yang masih belia.
Karena kenakalannya, Ben
sampai tak lulus SMP. Dia lebih memilih untuk ikut bekerja serabutan bersama
sang ayah. Irama nasib menghantarkan Ben pada satu kehidupan yang jauh dari
kehidupannya semula. Kehidupan pedesaan yang tenang dan
tentram.
Dengan wajahnya yang cukup
rupawan, Ben berhasil masuk ke dunia malam yang hingar bingar. Entah apa yang
dilakukan Ben disana. Yang jelas, sejak saat itu Ben menjadi kebanggaan keluarga. Pakaiannya selalu trendi
dan bermerek. Setiap pulang ke desa selalu membawa uang yang lumayan untuk ayah
dan ibundanya.
Sayapun begitu pangling
ketika bertemu dengannya. Ben menjadi lebih bercahaya. Dandanannya klimis
sekali. Mirip pria-pria metroseksual yang kerap berseliweran di layar kaca dan
iklan-iklan. Namun dihadapan saya, Ben tetap seorang yang sangat santun. Tetap mencium
tangan saya dan memperlihatkan senyumnya yang menawan.
Beda sekali dengan cerita
yang banyak terdengar dari ayahnya. Bahwa Ben sudah berubah perangai menjadi
begitu angkuh karena mulai hidup berkecukupan. Namun ternyata kabar demikian
tak terjadi pada saya. Ben tetap begitu menyenangkan dimata saya.
Hampir lima tahun Ben berkecimpung di dunia malam.
Hingga akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke desa. Itu semata karena
belakangan Ben mulai sakit-sakitan. Dari kabar yang saya
dengar, sebenarnya penyakitnya
hanya sepele
saja. Cuma penyakit Flu. Namun entah kenapa
tak kunjung sembuh.
Tak berapa lama, Ben
kembali dapat pekerjaan. Kali ini pekerjaan biasa. Namun lokasinya tak begitu
jauh dari rumah. Ben senang. Dia bertahan dengan pekerjaannya walau gajinya
lebih kecil. Hanya cukup untuk kehidupannya sendiri. Tak bisa lagi membantu
kehidupan orang tuanya seperti dulu.
Di saat seperti ini,
kehidupan memang tak bisa diprediksi. Sang ibu mulai sakit-sakitan. Padahal usianya masih
empat puluhan. Semula penyakitnya sama seperti penyakit Ben. Penyakit sepele yang tak kunjung sembuh. Namun di kemudian hari, penyakit yang sepele itu berubah
menjadi beragam penyakit asing yang menakutkan.
Dokter-dokter di Puskesmas
atau di rumah sakit kabupaten yang didatanginya tak pernah bisa mendiagnosis
secara persis penyakit apa yang sebenarnya
menimpa sang ibu. Yang jelas, para medis itu hanya mengatakan penyakit sang ibu sesuai kondisi
yang setiap hari berubah. Dari penyakit lever, Hepatitis C, TBC
atau sebangsanya.
Saya sebenarnya sempat
bertanya pada suaminya mengenai hal ini. Namun kakak saya itu hanya mengatakan
bahwa penyakit sang istri memang seperti
itu. Tak ada informasi lain. Sampai kemudian sang istri meninggal dalam kondisi
sakit yang cukup parah.
Tentu saja peristiwa
kematian ini membuat semua anggota keluarga berkabung. Apalagi masih ada anak
kakak saya yang beranjak gadis. Yakni adiknya Ben.
Yang paling terpukul
dengan kematian sang ibu ternyata Ben. Semua orang tak pernah menyangka bahwa
Ben begitu kehilangan ibundanya. Ketika saya Tanya, ternyata selama ini Ben lah
orang terdekat ibunya itu. Mereka berdua adalah teman curhat yang saling
menggantungkan hidup satu sama lain. Apalagi Ben sangat menyesal karena tak
bisa membiayai pengobatan sang ibu. Karena hidupnya
tak lagi seperti enam tahun lalu.
Setahun kemudian saya
kembali mendengar Ben sakit. Bahkan sebulan kemudian penyakitnya tambah parah. Dirinya
hanya tergolek lemah di tempat tidur. Tubuhnya semakin kurus kering. Wajahnya
yang dulu rupawan kini hanya tinggal kulit yang membalut tulang.
Dari bisik-bisik kakak
saya. Katanya Ben terkena HIV. Ya Tuhan darimana gerangan hal itu bisa terjadi.
Masih menurut kakak saya pula, semua berasal dari kegemaran Ben mentatto
tubuhnya. Memakai jarum yang sama dengan jarum orang lain. Itu terjadi ketika
Ben putus asa karena ditinggal sang bunda.
Saya tak percaya. Dari
literature yang pernah saya baca, bukankah virus HIV mulai terlihat setelah masa inkubasi 5
sampai 10 tahun. Sementara kegemaran Ben menjajal Tatto ditubuhnya baru setahun
belakangan ini. Tanda tanya saya kian besar setelah mendengar jejak rekam
hidupnya bersama sang bunda di masa lalu.
Saya takut sekali kalau
ternyata Ben tertular HIV dari sang bunda saat
masih dalam kandungan. Mengingat penyakit ibundanyapun menunjukkan
gejala yang sama. Bila hal ini terjadi, bagaimana dengan suaminya yang
jelas-jelas kakak kandung saya. Semoga saja hal demikian memang tak terjadi.
Semoga saja Ben tertular HIV, akibat kehidupan hedonisnya saat bekerja di
dunia malam. Dan teka-teki asal muasal penyakit Ben tak kunjung
terpecahkan hingga ajal menjemputnya. Ben
meninggalkan dunia fana dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Dia hidup
terkucil dari lingkungan sekitar, setelah para tetangga tahu penyakitnya.
Di kemudian hari, sayapun
mendapat kabar. Teman sekamarnya saat bekerja di dunia malam meninggal dalam
kondisi yang sama persis dengan Ben.
Namun saya masih
menyisakan seribu Tanya tentang semuanya. Saya khawatir dengan kakak saya.
Harus bagaimana meyakinkannya agar mau melakukan general check up. Selama ini
memang dia terlihat sehat-sehat saja. Malah hidup bahagia
dengan istri barunya. Namun tetap saja saya khawatir.
Daerah kami memang hanya
sebuah desa yang tidak begitu ramai. Namun dengan peristiwa yang terjadi pada
Ben. Tentu saja harus menumbuhkan paradigma baru di kalangan masyarakat
dimanapun. HIV tak hanya terjadi di kota saja. Ternyata sang
pembawa maut itu sudah mulai mengintai ke desa yang cukup sunyi.
Siapakah yang mesti melakukan
penerangan untuk orang-orang lugu di desa-desa yang cukup sunyi itu. Mengingat
akses mereka terhadap Informasi hanya melalu televisi.
Lagian Informasi lewat televisi sangat
kurang. Malah seringkali tidak mengenai sasaran karena disampaikan dalam bentuk
yang kurang dimengerti masyarakat awam yang tingkat pendidikannya masih rendah.
Seperti kejadian yang
menimpa tetangga-tetangga Ben yang mengucilkannya sampai maut memanggil Ben. Padahal peristiwa demikian
tak mungkin terjadi andai ada media atau pihak yang mampu menyampaikan secara
terang benderang dan dimengerti orang awam.
Siapa bisa membantu………….
No comments:
Post a Comment