Tags : Energi, Lingkungan, Pertamina
Sewaktu berkunjung ke tempat saudara di sebuah desa, saya cukup tertegun dengan perubahan yang sangat drastis di kampung yang dulunya senyap itu. Jalan menuju kesana sudah dilapisi beton cor yang kuat. Begitu pula dengan drainase sepanjang jalan yang sudah menggunakan gorong-gorong dari bahan beton juga.
Ditambah
lagi dengan bangunan di kiri kanan jalan yang diisi deretan bangunan berdinding
tembok juga. Tak ada lagi bangunan asli pedesaan yang menyejukkan mata seperti
sepuluh tahun lalu. Semua berubah. Desa ini sudah makmur rupanya.
Rumah
berdinding tembok memang tolok ukur Kemapanan bagi banyak orang. Hampir
tak ada lagi orang yang punya keinginan untuk mendirikan tempat tinggal
berdinding bilik bambu atau kayu. Identitas khas sebuah perkampungan yang asri,
hilang sudah.
Sayangnya
pemahaman tolok ukur tentang sebuah Kemapanan itu tidak dibarengi dengan
pemahaman mengenai Alam Semesta.
Mungkin karena tingkat pendidikan yang rendah. Diperparah lagi dengan proses
pendidikan dasar yang tidak mengadopsi Pendidikan
Kearifan Alam Semesta untuk
manusia. Hingga terbentuklah generasi yang menafikan alam. Padahal alamlah yang
selama ini menjadi tempat dirinya berpijak.
Contoh
kasar adalah halaman setiap rumah yang berjejer sepanjang jalan itu yang
semuanya ditutupi cor semen. Tak ada kehijauan rumpun yang menghampar indah
didepan rumah. Kalaupun ada satu dua yang masih berupa tanah, hal itu dibiarkan
begitu saja tanpa ditanami apapun.
Ketika
saya tanyakan pada saudara saya. Jawabannya cukup miris terdengar. Semua
berdalih Repot jika halaman ditutupi
rumput. Harus disiram saat musim kemarau. Harus rutin dipangkas jika musim
penghujan. Belum lagi ka;au ada ulat dan binatang lain yang biasanya berserang
di semak-semak rumput.
Tak
hanya rumput yang menghilang. Pohon-pohon besar di depan rumah juga banyak yang
lenyap begitu saja. Alasannya kembali membuat kepala saya geleng-geleng kepala.
Repot sekali harus membersihkan daun yang berguguran setiap hari. Takut kalau
pohon menghalangi kabel listrik. Apalagi di saat musim penghujan. Bisa-bisa
bangunan rumah yang bagus rusak seketika karena tertimpa dahan pohon yang
tumbang.
Pemikiran-pemikiran
keliru inilah, yang sebenarnya kini banyak disesali masyarakat perkotaan yang
sudah lebih dulu mencicipi kehidupan modern. Penduduk perkotaan menjadi
pontang-panting saat musim hujan karena banjir. Jutaan kubik air hujan yang
tercurah dari langit, tak lagi diserap tanah karena tertutup beton. Akibatnya
air meluap tak terkendali ke jalanan dan saluran air. Diperparah oleh jaringan
drainase yang sempit, hingga tak lagi dapat menampung debit air dari tiap rumah
yang tak terkira banyaknya.
Saat
musim kemarau tiba, kembali lagi pusing bukan kepalang. Masyarakat kota kekurangan air tanah.
Karena tak ada lagi air yang tersimpan di dalam tanah akibat tak terserap saat
musim penghujan.
Jika
sudah begitu, siap-siap saja berpuluh tahun kemudian tanah di tempat itu akan
amblas karena terdapat rongga yang besar di perut bumi akibat pengambilan air
tanah yang terus menerus. Sementara itu tak ada lagi suplai yang berasal dari
air hujan untuk mengisi kembali rongga di dalam perut bumi.
Makanya
belakangan ini banyak digalakkan konsep Go
Green dan Back To Nature.
Bersahabat kembali dengan bumi lewat gerakan menanam sejuta pohon. Atau membuat
lobang-lobang Pori
di halaman rumah supaya terjadi resapan air hujan secara alami.
Saya
menerangkan semua pengetahuan itu pada saudara saya tercinta lewat bahasa orang desa yang sederhana. Dia hanya
manggut-manggut. Saya tak bisa menebak. Apakah dia memang mengerti sepenuhnya.
Atau hanya terpaksa mendengarkan saja uraian saya karena segan.
Saya
pun ingin menunjukkan sesuatu kepadanya dengan cara yang sederhana. Dengan cara
membawa dia ke tempat pemakaman keluarga yang ada di atas sebuah bukit. Alasan
saya kala itu adalah untuk berjiarah dan sowan ke makam leluhur.
Saudara
saya itu bercerita bahwa bukit pemakaman pernah longsor tahun lalu saat musim
penghujan. Dia bilang, mungkin karena bukit itu semakin penuh oleh makam. Saya
hanya tersenyum mendengarnya.
Sesampainya
di makam, saya kemudian menutupi tanah sekitar makam ayah dan ibu saya dengan
potongan rumput yang sebelumnya sudah saya persiapkan. Hingga daerah sekitar
makam orang tua saya itu tertutup semuanya. Hasilnya memang terlihat menjadi lebih indah dan menyejukkan mata. Beda
dengan sebelumnya yang gersang karena berupa tanah merah yang lengket.
Kali
ini saudara saya mulai berkomentar. Dia memuji karena makam menjadi indah dan
sedap dipandang mata. Saya hanya terkekeh mendengar pujiannya.
Setahun
kemudian, ada lagi kabar dari saudara saya tentang bukit pemakaman itu. Saat
itu musim penghujan tengah mencapai puncaknya. Dia bilang bahwa sang bukit
kembali longsor. Namun makam orang tua saya dan beberapa makam disekitarnya tidak
apa-apa. Semua karena rumput yang saya tanam telah menjadi penopang yang kuat
untuk menahan air hujan yang tercurah dari langit. Saudara saya berteriak di
telepon.
“
Saya baru mengerti, mengapa kamu menanam rumput di pemakaman orang tuamu.
Rupanya supaya tidak terjadi longsor ya ……? “
Dan saya pun mengucap syukur dalam hati. Rupanya dengan
cara teguran dari Tuhanlah, saudara saya bisa mengerti tentang pentingnya
kembali Bersahabat dengan Bumi.
No comments:
Post a Comment