Gerimis kecil tadi malam masih
menyisakan nuansa sendunya pagi ini. Udara begitu dingin diseling hembusan
sepoinya angin. Memaksa tubuh untuk tak beranjak dari dalam selimut saking
dinginnya udara. Namun kerinduanku pada hangatnya tempat tidur tak mungkin
kuteruskan. Aku tak mau berurusan dengan tatapan melankolis ayah karena telat
bangun. Lebih baik segera masuk kamar mandi. Mengguyur badan dengan air dingin
seperti biasa. Dilanjutkan dengan beres-beres kecil di ruang tamu dan halaman rumah
seperti biasanya.
Sebagai anak terkecil, aku hanya
ditugaskan beres-beres. Beda dengan Teteh
yang punya tugas khusus mencuci pakaian seluruh anggota keluarga di pagi
hari dan menyetrikanya setelah pulang sekolah. Usiaku baru 6 tahun dan Teteh 10 tahun ketika Ibu meninggalkan
kami di suatu malam yang senyap. Ayah selalu mengatakan kalau Ibu sudah
berbahagia di tempat lain. Ini merupakan jalan terbaik baginya, karena dapat
terlepas dari penderitaannya selama ini. Sudah dua tahun ini Ibu menahan sakitnya.
Kematian adalah jalan terbaik untuknya.
Semenjak ibu berpulang, ayah
memilih untuk melajang. Bujukan untuk menikah lagi dari kerabat dan tetangga
tak pernah digubris. Aku dan Teteh tentu
saja mendukung keputusan ayah. Kami tak mau punya ibu tiri. Bayangan ibu tiri
yang galak seperti di film-film kerap mengintimidasi kami. Bahkan menghantui di
mimpi-mimpi kami. Waktu kusampaikan pada ayah, beliau hanya tersenyum sambil
meledek.
“ Makanya jangan banyak nonton
film yang sedih-sedih. Jadi terbawa sampai mimpi “
“ Bukankah yang diceritakan di
film itu berdasarkan kisah nyata Yah? “
“ Mungkin saja. Tapi yang pasti,
sampai kapanpun, kalian gak akan mengalaminya. Ayah janji “. Ayah mengacungkan
telunjuk dan jari tangan kanannya. Membuat perasaanku kembali tenang. Aku yakin
kalau ayah akan menepati janjinya.
Hari-hari sepeninggal ibu, kami
lalui dengan santai. Kehidupan kami tidak banyak berubah. Setiap pagi ayah
mengantar kami ke sekolah dengan motor bebek 70-nya. Biasanya aku duduk
ditengah diapit teteh. Kami menyebut
motor ayah dengan sebutan si Bebek Revolusi karena warnanya merah putih. Si Bebek
Revolusi gak pernah ngadat. Dia menjadi bintang yang bersinar sejak
kehadirannya di tengah-tengah keluarga kami, 2 tahun sebelum ibu berpulang.
Sekepal nasi ketan ditemani
secangkir teh panas, mengawali pagiku bersama ayah dan teteh hampir di setiap pagi. Semenjak ibu tidak ada, ayahlah yang
bertugas memasak. Walau masakannya tidak bermacam-macam seperti masakan ibu,
tapi rasanya tidak kalah. Ayah memang hebat. Beliau tak hanya menjadi ayah yang
baik, tapi mampu mengisi kekosongan hati kami atas hadirnya sosok ibu.
Kehadirannya membuat kami tak merasakan kesepian baik di musim hujan atau musim
kemarau sekalipun. Aku selalu rindu dekapannya yang hangat.
Ayah yang membuat kami tegar
menghadapi dunia. Bersamannya, kami serasa memiliki dunia dan seisinya. Kami
tak pernah kehilangan sosoknya saat kembali ke rumah. Beliau yang mengajarkan
aku dan teteh untuk menaklukan dunia
yang rumit.
Belasan tahun sudah kami
menjalani hari bersamanya. Bersama si Bebek Revolusi, ayah mengajari kami
tentang sebuah kesederhanaan yang penuh makna. Beliau tak pernah mengganti
motornya dengan yang lebih baru. Bahkan ketika teteh beranjak remaja dan ngambek gak mau diantar gara-gara malu
dengan si Bebek Revolusi, ayah menjelaskan dengan penuh kasih.
“ Sebuah benda diciptakan manusia
karena fungsinya. Tak perlu malu karena kita hanya memiliki yang sederhana. Teteh pasti lebih mengerti bagaimana
cara berterima kasih atas jasa-jasa si Bebek Revolusi untuk kehidupan kita.. “
Ayah tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak teteh.
Ketika kami beranjak remaja,
perlakuan ayah perlahan berubah. Beliau lebih suka menjelaskan, daripada
memerintah ini-itu. Penjelasannya yang logis membuat kami tak punya alasan untuk
menentangnya. Begitu juga ketika kami mulai melupakannya karena lebih suka
menghabiskan waktu dengan teman-teman diluar rumah. Ayah masih bisa tersenyum
ketika membukakan pintu menyambut kami yang kelelahan setelah seharian ikut
baksos di sekolah.
“ Ayah hanya ingin kalian lebih
hati-hati “ Ayah mengurai cerita di meja makan. Waktu itu aku tak begitu
memperhatikan raut wajahnya karena sangat lapar. Yang ada diotakku hanya
bagaimana caranya supaya laparku terpuaskan. Aku masih belum mengerti juga
ketika memergoki ayah sedang merenung sambil memandangi si Bebek Revolusi di
temaramnya malam.
Andai pada saat itu aku tahu
kalau ayah sedang merenungi kesendiriannya karena anak-anak yang sudah sekian
lama menemaninya menghilang satu-satu. Seperti kupu-kupu yang perlahan menjauh
setelah berhasil melepaskan diri dari kepompongnya.
Ketika aku mulai belajar
mengendarai si Bebek Revolusi, ayah mengajariku dengan telaten. Begitupun saat
aku sudah mahir mengendarainya. Ayah yang selalu mengingatkan untuk memakai
helm dan berkendara dengan tertib di jalan. Jujur aku sering mengabaikan
wejangannya. Makanya aku tak berani terus terang ketika lututku luka akibat
jatuh dari motor.
Membayangkan apa yang sudah
dilakukan ayah untuk kami, membuatku merasakan sesal yang menggunung. Andai
waktu mampu diulang dengan segala kemegahannya. Pasti sesal ini tak akan begitu
menyesakkan dada.
………………………………………………………………………………………….
Kupacu motorku menuju rumah teteh. Bayanganku mengenai wejangan ayah
terus menghantui. Menyebabkanku memperlambat laju motor. Di sepanjang jalan
yang kulalui, kenangan bersama ayah seperti bentangan layar berisi perjalanan
hidup kami. Masih kurasakan betapa eratnya pelukanku pada pinggangnya. Sesekali
tangan kiri ayah mengusap tanganku untuk menguatkan.
Teteh
sudah menungguku
di depan rumahnya. Langsung memburuku begitu motor berhenti di halaman rumah.
Tangisnya langsung pecah.
“ Teteh kangen kamu “ Ia berbisik disela-sela tangisannya. Tubuhnya
semakin gemuk. Aku sampai pangling dibuatnya. Kehamilan pertamanya membuat
timbangan teteh naik lima kilo.
“ Makanya aku langsung kemari.
Takut teteh keburu marah “ Aku malah
menggodanya sambil nyengir. Teteh memukul
punggungku perlahan. Aku ingin tertawa melihatnya merajuk karena gayanya gak
banget. Pasti gara-gara suaminya yang selalu memanjakannya sehingga Teteh menjadi bertingkah ajaib seperti
ini.
Seingatku baru kali ini teteh merajuk. Sepanjang kebersamaan
kami selama lebih dari dua puluh tahun di rumah ayah, tak pernah kulihat dia
merajuk, kecuali saat ngambek karena gak mau diantar si Bebek Revolusi.
Selebihnya, teteh termasuk perempuan
tegar yang pernah kukenal. Makanya terkadang aku membandingkan mantan-mantanku
dengan ketegarannya.
Aku menolak ketika teteh mengajak masuk rumah.
“ Kerinduanku padanya sudah tak
tertahankan lagi..” Aku berkilah ketika teteh
terus mendesak. Sejenak dia memandang bola mataku lekat-lekat. Sisa air
mata masih menggenang dipelupuk matanya. Kesenduannya membuat hatiku
terjerembab jengah.
“ Serindu itukah kamu padanya? ”
“ Kerinduan yang disesaki sesal.
Sepanjang pengembaraanku di Kyoto tiga tahun ini, rasanya tak ada yang lebih
membahagiakan selain kebersamaan dengannya saat kita kecil dulu. Sayangnya baru
sekarang aku menyadari kalau berada disisinya seperti menggenggam dunia dan
langit sekaligus. Apakah teteh tak
memiliki kerinduan yang sama? “
Teteh
tak menjawab.
Ujung jempol kakinya mengais-ngais debu di lantai. Keheningan menelingkupi
sekeliling. Aku menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang konyol. Aku
yang seorang laki-laki dewasapun begitu merindukannya. Apalagi teteh yang notabene seorang perempuan.
Pasti perasaannya lebih sensitif. Kami memiliki kenangan kebersamaan yang
melimpah ruah. Bagaimana mungkin teteh tidak
memiliki kerinduan yang sama. Bahkan mungkin kerinduannya melebihi kerinduan
yang kumiliki.
Kugenggam tangan teteh dan kembali memeluknya “ Maafkan
aku Teh.. “. Dalam dekapanku tubuhnya
terguncang menahan tangis. Perasaanku tambah resah.
“ Andai Teteh tidak memberinya hadiah itu. Pasti semuanya tak akan terjadi.
Maafkan Teteh karena telah
mengirimnya menuju api “
“ Sudahlah. Kita sama-sama ingin
membahagiakannya, walaupun dengan cara yang kita anggap benar.. “ Aku mencoba
menenangkannya. Bagaimanapun, kepulanganku ke Bandung mesti memberikan
kebahagiaan pada orang-orang tersayang. Bagiku, Kyoto tak ada apa-apanya
dibanding kebahagiaan Teteh. Aku rela
meninggalkan semua kemapanan di negeri orang, demi kebahagiaan lain di negeri
sendiri. Kenangan-kenanganku bersama ayah dan Teteh lebih penting dari segalanya.
“ Kita pergi sekarang? “ Teteh melepaskan pelukan kami. Aku
mengangguk tanpa berkata-kata. Kami beriringan menuju motor. Kusodorkan helm
masa lalu kami kepadanya. Tangan Teteh sedikit
gemetar menerimanya. Kucoba menguatkan perasaannya dengan tersenyum.
Perlahan kujalankan motor yang
sangat bersejarah ini keluar dari halaman. Dengan kecepatan ringan kami melaju
membelah jalanan yang sedikit basah. Musim hujan belum usai. Sisa-sisa hujan
tadi pagi masih tercium harumnya. Aku suka sekali dengan harum itu. Tak hanya
mengingatkanku pada masa lalu, tapi harum hujan itu mengingatkanku juga tentang
sekepal nasi ketan berikut teh panas yang disajikan ayah hampir setiap pagi.
Dari kejauhan, bukit kecil di
ujung desa itu tampak menghijau. Kabut tipis mengelilinginya. Sinar matahari
yang masih malu-malu belum sanggup menyingkirkannya. Perasaanku mulai tidak
karuan. Semua kenanganku bersamanya langsung mengerubungi alam bawah sadar.
Membuat dadaku sesak. Cengkeraman tangan Teteh
yang membonceng dibelakang menyadarkanku untuk kembali waspada mengendarainya.
Andai…
……………………………………………
Onggokan tanah merah dihadapan
kami. Membisu dalam kesenduan pagi. Kucondongkan wajah untuk mencium kayu nisan
bertuliskan nama seseorang. “ Ayah.. maafkan aku karena telah membuatmu
kesepian di akhir perjalanan. Andai waktu bisa diputar kembali, aku ingin
kembali disaat kita sedang bahagia bersama Teteh..”
Tak terasa, airmataku jatuh
satu-satu diatas pusara ayah. Sementara Teteh
sudah sejak tadi berurai air mata disampingku. Dari mulutnya tak henti
keluar kalimat-kalimat penyesalan. Aku memahami penyesalannya. Dialah yang
paling merasa bertanggungjawab atas kepergian ayah. Karena sebulan lalu
berkeras membelikan ayah sebuah motor baru sebagai hadiah ulang tahunnya.
Tak dinyana, bersama motor
pemberian teteh-lah, pengembaraan
ayah di dunia menemui akhir yang tragis. Beliau kecelakaan ketika mencoba motor
baru itu di hari ulang tahunnya. Sementara aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa
karena sedang menunaikan tugas di Kyoto.
“ Seharusnya Teteh membiarkan ayah memilih berbahagia bersama dia “ Teteh melirik pada Si Bebek Revolusi
yang terparkir dengan manis di belakang kami. Entah kenapa, aku seperti melihat
sosok ayah sedang menyender di motor itu sambil tersenyum memandang kami.
Kugeleng-gelengkan kepala untuk
mengusir halusinasi yang baru saja kudapatkan. Tapi tak berhasil. Sepenuh hati
kukuatkan perasaan kalau ayah kini sudah bahagia bersama ibu di genggaman langit.
Aku yakin kalau mereka tengah bergandengan tangan dan bercengkrama diantara
awan-awan sambil memandang kami dari atas.
“ Ayah.. aku berjanji untuk
menjaganya sesuai keinginan ayah. Dia motor kebanggaan ayah kan?. Maafkan kami
karena selama ini tak pernah mencintainya, seperti ayah mencintainya. Dia
memang hanya benda yang bisa bergerak sesuai perintah tuannya. Tapi sesuai kata
ayah, dia juga memiliki sisi sensitif yang tak pernah terjamah kalau kita tidak
memahaminya..” Kuurai kalimat-kalimat peneguhan dihadapan pusara ayah. Ini luar
biasa, karena sebelumnya aku tak pernah mampu merangkai kata-kata indah.
***