Diary
Kecil Seorang Ibu Gembala
“ Lihatlah bunga bakung di padang yang tidak pernah
memintal dan menuai…Tapi Tuhan mendandaninya dengan sangat indah…Terlebih kamu
sebagai manusia”
Saya mengenalnya sebagai seorang ibu
yang mengabdi pada suami dan anak-anaknya. Di pagi buta, perempuan paruh baya
yang masih terlihat cantik ini sudah mengawali aktivitas. Membangunkan sang
suami dan dua anaknya yang sudah dewasa. Selanjutnya menyiapkan air panas untuk
mandi semua anggota keluarga. Dan menyiapkan sarapan pagi.
Jika bosan dengan masakan rumah,
biasanya.. ibu yang murah senyum ini menyambangi beberapa kedai makanan di hari
yang masih gulita. Membeli nasi uduk, membeli bubur ayam, atau membeli kue
serabi yang masih panas. Ditempat terakhir inilah, saya kerap bertemu
dengannya. Maklum, saya termasuk penggemar kue serabi juga. Selepas shalat
shubuh biasanya saya nongkrong di kedai kue serabi untuk sarapan.
Meski baru kenal, namun sang ibu tak
segan berbagi cerita dengan saya. Dan inilah sepenggal cerita tentang sejarah
keberadaannya di kampung kami yang cukup sunyi….
“ Anak bungsu kami meninggal dua tahun
lalu. Suami saya begitu syok dan depresi karenanya. Beberapa bulan dia
terbaring sakit. Bahkan di suatu titik, dia mengalami Burn Out… Semangat
hidupnya drop ke titik nadir. Dia memang begitu menyayangi si bungsu, lebih
sayang dari anak-anaknya yang lain.
Kami akhirnya memutuskan pindah ke
kampung ini. Semata-mata untuk mencari cara agar ayah anak-anak dapat berpaling
dari kesedihannya. Puji Tuhan… ternyata dia lambat laut dapat bersahabat dengan
takdir. Dia mulai bisa melupakan kenangan dengan sibungsu dan mulai menata
kembali hidupnya. “
“ Keluarga kami memang keluarga yang
unik. Saya sebenarnya puteri seorang pendeta. Karena cinta lah, saya memutuskan
untuk menikahi suami saya yang seorang muslim. Anak-anak kami semuanya muslim.
Hanya saya seorang, yang non muslim di rumah kami. Entah mengapa, saya tetap
mempunyai keteguhan yang kuat untuk mempertahankan keyakinan saya.
Saat di Jakarta kemarin. Saya tidak
begitu khawatir dengan kehidupan beragama kami. Karena rumah kami berada di
suatu komplek yang sangat pluralis. Beragam agama dan
keyakinan, hidup rukun dalam satu komplek.
Kehidupan bertetangga kami tak pernah
terpengaruh dengan berbagai pemberitaan media tentang gerakan radikalisme
agama yang
kerap diberitakan media massa.
Komplek kami tetap damai dan sejahtera.
Perasaan saya sedikit was-was saat
memutuskan pindah ke kampung ini. Kampung sunyi yang masyarakatnya seratus
persen mempunyai agama yang sama. Bahkan rumah kami berhadapan langsung dengan
mesjid kampung. Setiap saat mesjid ini selalu ramai dengan aktifitas keagamaan.
Bahkan anak saya pun terlibat aktif dalam semua kegiatan mesjid. Beruntung, dia
dipercaya pengurus mesjid untuk jadi muadzin setiap shalat menjelang. Saya
cukup senang karenanya.
Semula saya merahasiakan keyakinan
saya pada tetangga sekitar. Saya masih was-was. Takut kalau sesuatu akan
terjadi, jika mereka mengetahui yang sebenarnya. Maklum, belakangan ini,
pemberitaan media tentang radikalisme agama semakin kencang beritanya. Membuat
saya kian hati-hati.
Namun entah darimana awalnya. Beberapa
tetangga mulai curiga pada aktifitas mingguan saya. Maklum hidup di kampung
yang sederhana. Setiap orang terbiasa saling memperhatikan satu sama lain.
Biasanya menyangkut orang yang sakit, kelahiran, kematian, pengajian, kerja
bakti dan seabreg kegiatan khas komunitas pedesaan lainnya.
Saya suka beralasan akan berolah raga
saat pergi ke gereja di minggu pagi. Keteledorannya adalah busana yang saya kenakan.
Maklum ibu-ibu. Untuk menghadap Tuhan, saya pasti berdandan dan mengenakan
pakaian terbaik. Termasuk ber-make up
dan ber- high heels.
Singkat kata, akhirnya seluruh kampung
tahu, bahwa saya seorang non muslim. Saya pun menyerahkan semuanya pada kuasa
Tuhan. Ternyata kekhawatiran selama ini sangat tidak beralasan.
Tetangga-tetangga tetap berperilaku seperti biasa. Tak ada yang berubah. Bahkan
menyayangi keluarga kami lebih dari sebelumnya.
Ketakutan-ketakutan itu hanya sebuah
prasangka yang tak semestinya saya punyai. Baik di kota atau di kampung, kita tetap dapat hidup
berdampingan dengan damai. Tanpa mengusik keyakinan masing-masing individu.
Ada baiknya media apapun tak perlu memblow-up berlebihan mengenai berita radikalisme
agama
manapun. Karena fakta di kehidupan sehari-hari, keluarga kami dapat hidup damai
dan sentosa dimanapun. Meskipun saya hanya satu-satunya orang yang mempunyai
keyakinan berbeda di kampung ini. “
Sang ibu paruh bayapun menutup
ceritanya sambil tersenyum hangat. Pesanan kue serabinya sudah selesai. Dia
memasukan potongan kue ke dalam piring yang dibawanya.
“ Wah keasyikkan ngobrol dengan si Aa.
Pasti anak-anak di rumah sudah menunggu sarapannya. Mereka memang masih manja,
meski sudah pada dewasa. Walau begitu, ibu selalu rindu suka dengan kemanjaan
mereka. Mereka tetap anak-anak manis yang harus ibu lindungi dimanapun, hehehe…
“
Saya hanya tersenyum menanggapi
celotehan sang ibu. Begitu pula dengan penjual serabi yang terus asyik memasak
kue-kuenya. Ternyata di kampung kami yang begitu sunyi ini, terkuak kisah
seorang pengembara yang mempunyai sisi lain di kehidupannya.
Ibu paruh baya itu bagai bunga bakung
yang tumbuh di pekarangan dusun kami yang sederhana. Dia berbunga cantik saat
musim penghujan, dan ber-dorman
(seolah-olah mati) saat musim kemarau tiba. Saya jadi ingat perkataan seorang
teman yang juga non muslim tentang bunga ini.
“ Lihatlah bunga bakung di padang yang tidak pernah
memintal dan menuai…Tapi Tuhan mendandaninya dengan sangat indah…Terlebih kamu
sebagai manusia”
No comments:
Post a Comment