http://ditjenspk.kemendag.go.id/ |
Banyak hal tiba-tiba terasa menjadi
sebuah masalah ketika sebuah kampung kecil yang sunyi, seketika berubah menjadi
kota yang
perlahan menggeliat. Ada
banyak kebiasaan yang mesti dipertaruhkan. Entah atas nama Menyesuaikan
diri, atau hanya
sekedar Gengsi.
Hal yang sama, berlaku pula untuk desa
kami yang dulunya sunyi senyap. Sebuah dusun kecil berpemandangan tak begitu
indah di antara Bandung
– Sumedang. Dalam sepuluh tahun terakhir, bermunculan super market besar, mall,
bahkan apartemen mengelilingi desa sunyi kami.
Semua itu terjadi, setelah sepuluh
tahun sebelumnya, beberapa Universitas besar boyongan pindah ke dusun kami, yang
dulunya perkebunan karet nan gersang. Padahal kata orang-orang dulu, tempat itu
dulunya tempat jin buang anak.
Dan kini, dusun kami tercinta telah
berubah menjadi sebuah tempat yang berdegup 24 jam. Saya sendiri bingung mau
menyebutnya seperti apa. Kampung
Jatinangor… Kota
Jatinangor… atau apa. Karena yang jelas, dusun kami telah mengalahkan induk
kotanya sendiri yaitu Sumedang, sebagai kota
kabupaten. Sumedang jauh tertinggal dalam hal apapun oleh Jatinangor.
Yang paling terkena imbasnya, tentu
penduduk setempat. Termasuk saya dan keluarga besar. Dengan tergopoh-gopoh
harus mengikuti arus modernisasi dengan seketika. Terkejut..? sudah pasti. Apalagi untuk
orang-orang dusun yang tingkat pendidikannya kurang memadai. Padahal
disekelilingnya bertebaran Universitas besar. Ironis memang.
Jaman saya dulu, sudah puas bermain
seharian dihalaman, di sawah, atau di ladang. Berbeda sekali dengan
keponakan-keponakan saya sekarang. Mereka memilih seharian bermain di mall,
super market dan warnet yang bertebaran di hampir setiap sudut jalan, sepulang
sekolah. Begitu pulang ke rumah, langsung nonton Televisi atau bermain game.
Begitu juga dengan keponakan saya yang
sudah menikah. Ibu-ibu muda itu sudah enggan menginjakkan kakinya di pasar
tradisional. Mereka memilih berbelanja mingguan di super market.
“ Enak Om… tempatnya bersih. Bisa milih sendiri. Tak dicereweti
penjualnya. Tak perlu nawar. Tak perlu berdesakkan dengan orang-orang yang
berkeringat. Kalau masalah harga-mah gak terlalu penting. Kan suami yang cari duit. Tugas istri-lah
yang menghabiskannya. Hehehe…. “
Saya benci sekali dengan alasan yang
mereka kemukakan sambil cekikikan. Mereka hanya memberikan pembenaran sepihak
atas budaya hedonis-nya. Hidup tak
se-sederhana itu Bu…
Suatu saat, saya iseng nitip belanja
bulanan pada seorang keponakan. Kebetulan banyak pekerjaan yang tak bisa
ditinggalkan. Saya memberinya daftar belanjaan dan sebuah kartu debet.
Keponakan saya hampir seharian berada
di mall. Entah apa yang dia kerjakan disana. Yang jelas pulangnya hampir sore
hari. Saya pun menerima titipan belanjaan. Terbungkus rapi dalam beberapa tas
kresek.
Alangkah terkejutnya ketika membuka
belanjaan. Banyak barang-barang jelek yang ada di dalam tas kresek. Terutama
beberapa buah yang terlihat sudah tidak segar lagi. Belum lagi beberapa barang
yang mendekati tanggal kadaluarsa. Saya protes dan memanggil sang keponakan.
Sang ibu muda malah nyengir dan
merasa tak bersalah saat saya menerangkan beragam belanjaan tak layak yang baru
saja dibelinya. Dia hanya garuk-garuk kepala semakin tak mengerti dengan apa
yang telah diperbuatnya. Saya kehabisan akal. Sebenarnya apa yang ada dibenak
keponakan saya saat memilih barang belanjaan. Saya berniat protes pada kakak
saya, yakni ibunya.
Saya tambah syok saat mengadu pada sang ibu.
Ternyata di rumahnyapun banyak barang-barang serupa hasil belanjaan anaknya.
http://ditjenspk.kemendag.go.id/ |
Keponakan saya ternyata tidak cerdas
dalam berbelanja. Dia hanya melihat display yang bagus. Tak bisa
memilih barang yang tepat. Tak peduli dengan tanggal produksi dan tanggal
kadaluarsa. Saya pun mengurut dada. Separah itukah ibu-ibu muda jaman sekarang?.
Harus darimana memulai mengajarinya menjadi seorang konsumen
yang cerdas.
Keponakan saya hanya manggut-manggut saja saat
dikuliahi bagaimana menjadi seorang konsumen yang
cerdas. Dia sedikit tertegun saat mengetahui bahwa konsumen yang
cerdas itu adalah : konsumen yang kritis dan berani memperjuangkan haknya
apabila barang/jasa yang dibelinya tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Wajahnya memerah saat kembali saya terangkan
bagaimana cara berbelanja yang cerdas,
seperti :
1.
Bersikap Super
Teliti Sebelum Membeli
2.
Memperhatikan
Label, MKG dan Masa Kadaluarsa
3.
Membeli produk
yang ada SNI dan sesuai dengan Standar Mutu K3L ( Kesehatan, Keamanan,
Keselamatan )
4.
Membeli sesuai
Kebutuhan. Jangan gelap mata, membeli semua barang karena Keinginan.
“ Kalau barang telanjur dibeli, tapi mengecewakan bagaimana ? “
Saya tersenyum. Tak menyangka, ternyata keponakan
saya separah ini lugunya. Saya pun kembali menerangkan bahwa setiap konsumen
bisa mengadukan keluhannya pada :
1.
Produsen yang
memproduksi barang
2.
LPK ( Lembaga
Perlindungan Konsumen ) atau YLKI
3.
Pemerintah.
Dalam hal ini terwakilkan oleh :
a.
Dinas Indag
Provinsi/Kabupaten/Kota, Unit /Instansi Pemerintah terkait lainnya.
b. Pos Pengaduan dan Pelayanan Informasi Direktorat
Pemberdayaan Konsumen; Hotline:
021-344183 ;
Email: kip-dpk@kemendag.go.id
c.
Sistem
pengawasan Perlindungan Konsumen Direktorat Jenderal Standardisasi dan
Perlindungan Konsumen, melalui : http://siswaspk.kemendag.go.id
“ Ribet ya….. Om ? “ Keponakan saya
masih garuk-garuk kepala.
“ Makanya kalau tak mau ribet, harus berbelanja yang Cerdas. Jangan
malu dikatakan cerewet. Di Super market banyak pramuniaga yang bisa dimintai
tolong untuk membantu memilih barang. Jangan segan bertanya ini-itu sebelum
memutuskan memilih barang yang dibutuhkan. Konsumen mempunyai hak untuk
mendapat barang terbaik “
Saya menutup kuliah panjang malam itu dengan emosi
yang belum sepenuhnya reda. Ternyata banyak hal yang mesti diterangkan pada
keponakan saya. Mungkin di luar sana
masih banyak ibu-ibu muda seperti dirinya. Mereka tak sadar sudah menjadi
bulan-bulanan produsen nakal. Mereka harus diajari pengetahuan sederhana, Bagaimana Menjadi Bijak Dalam Berbelanja.
Saya jadi rindu melihat perempuan-perempuan sederhana saling
bertegur sapa di pasar-pasar tradisional. Mereka bersenda-gurau sambil
melakukan transaksi jual beli. Penjual dan pembeli sama-sama senang. Bahkan tak
jarang terjadi kedekatan emosional diantara penjual dan pembeli.
Beda
dengan di super market. Penjual dan pembeli sama-sama membisu. Tak ada
transaksi disertai gelak canda. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri.
Sip Boss.. Tq for coming..
ReplyDelete