Facebook : I Love Aceh
Twitter : @iloveaceh
Kalau saja tidak terjadi peristiwa 26 Desember 2004. Mungkin
Anggito dan istrinya hingga kini masih menetap di Takengon. Sepupu jauhku itu terlalu
cinta dengan kampung barunya. Selama lima
tahun disana, dia tak jemu-jemu menggambarkan beragam keelokan alam semesta
yang diciptakan Tuhan untuk rakyat Gayo. Dia memang seorang petualang sejati.
Makanya memilih melanjutkan kuliah di jurusan kehutanan dan mengabdikan diri
sebagai abdi negara di Takengon.
Anggito menggambarkan Takengon sebagai dataran tinggi diantara
arak-arakkan awan dan kabut yang berhawa sejuk. Mirip daerah Pangalengan kalau
di Bandung,
Jawa Barat. Bumi orang Gayo itu merupakan ibukota Kabupaten
Aceh Tengah. Takengon terletak di sisi Danau Laut Tawar.
Bisa dibayangkan, betapa indahnya kawasan yang berbatasan
langsung dengan sebuah danau. Anggito sering mengirimi saya cerita manis dan
gambar-gambar yang menakjubkan tentang Danau
Laut Tawar, Gua Puteri Pukes, dan Pantan
Terong. Atau suasana perkebunan kopi yang menghampar luas dengan hijaunya.
Kemujuran Anggito selalu membuat saya iri hati.
Takengon memang terkenal sebagai Onder Afdeeling Takengon
di jaman kolonial Belanda. Potensi Bumi orang Gayo itu sangat cocok untuk
budidaya Kopi Arabika, Tembakau dan Damar. Hingga di kemudian hari, pemerintah
kolonial Belanda mendirikan sebuah perusahaan pengolahan Kopi dan Damar di Takengon.
Sejak saat itu, kawasan Takengon
berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi Dataran Tinggi Gayo,
khususnya Sayuran dan Kopi.
Anggito selalu menceritakan Takengon dengan cara yang seru dan memikat hati.
Saya semakin tertarik untuk mengikuti jejaknya. Siapa tahu, suatu hari nanti
Tuhan memperkenankan saya untuk mencicipi keindahan Takengon lewat mata dan kepala saya
sendiri. Bukan hanya mengkhayal dengan cerita dan photo-photo yang dikirim oleh
Anggito.
Namun
harapan saya pupus sudah. Karena seminggu setelah peristiwa 26 Desember 2004,
Anggito dan sang istri kembali ke Bandung.
Meninggalkan semua mimpi-mimpinya di Takengon. Kenangan yang tersisa dari Bumi Orang Gayo itu hanya Anggia, bayi
mungil nan lucu yang tak pernah lekang dari senyuman.
“ Aa sebenarnya berat
meninggalkan Takengon. Semua mimpi Aa berada disana. Namun Aa tak ingin melawan
kehendak Ibu. Aa tak ingin Ibu cemas karena memikirkan Aa sekeluarga di
Takengon. Padahal Takengon tidak kenapa-napa. Hanya ada longsor saja sebagai
akibat gempa dahsyat. Bila semua sudah tenang kembali, Aa ingin kesana lagi sesegera mungkin. Aa
telanjur cinta dengan Takengon “
Air muka Anggito terlihat penuh penyesalan. Saya begitu trenyuh
melihat kerinduannya pada Takengon. Dimata saya, dia terlihat seperti seorang
ksatria yang baru saja terenggut dari tanah impiannya. Sebuah tanah impian yang
diperjuangkan dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Matanya kembali berbinar saat menceritakan Didong. Sebuah kesenian rakyat Gayo
yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini
diperkenalkan pertama kali oleh Abdul
Kadir To`et. Kesenian Didong sangat digemari oleh masyarakat Takengon
dan Bener Meriah.
Dan Anggito pun mulai menggemarinya.
Dalam Didong ada
nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan nilai
kearifan alam semesta. Didong adalah
sarana berekpresi tanpa batas bagi setiap rakyat Gayo. Didalamnya ada semangat
yang menghentak untuk keluar dari problema sosial, mengkritisi pemerintah dan
memuja Tuhan sebagai penguasa alam semesta.
Saya hampir tak percaya, melihat Bad Boy seperti Anggito bisa jatuh cinta pada sebuah kesenian
rakyat.
“ Setiap manusia selalu
bermetamorfosis sesuai lingkungannya, Dik. Begitu juga dengan Aa. Yang mendapat
kedamaian saat menatap indahnya Danau Laut Tawar. Atau menatap perbukitan curam
yang mengelilinginya. Juga mendapat kekuatan magis saat mendengar syair-syair
Didong diantara Burni Telong dan Gunung Geureundong “
“ Sebegitu indahnya
mereka? “
“ Kamu akan langsung jatuh
cinta sepenuh hati saat menatapnya. Apalagi saat berpetualang menyusuri
stalaktit di Loyang Karo dan Loyang Putri Pukes. Aa yakin kamu akan
jatuh cinta setengah mati pada bumi Gayo. “
Mata Anggito menerawang jauh. Saya semakin jauh menyelami
kerinduannya pada Takengon. Mungkin Takengon adalah cinta keduanya
setelah cintanya pada keluarga. Andai saja waktu itu Anggito bertahan saja di
Takengon. Tak perlu terburu-buru kembali ke Bandung. Mungkin sekarang dia dan keluarganya
akan menikmati kemakmuran di Tanah Gayo.
Dia tetap bisa menikmati jutaan bintang di langit Takengon saat
malam hari. Atau bersampan di keheningan Danau
Laut Tawar saat pagi hari. Saya semakin menyesal melihatnya tersiksa karena
kerinduannya pada Takengon. Andai waktu bisa membawanya kembali.
Saya kembali menatap indahnya gambar-gambar
tentang Takengon yang dibawanya
serta. Delapan
tahun sudah gambar-gambar itu menjadi bagian dari mimpi-mimpi Anggito. Entah
sampai kapan dia dapat kembali menjejakkan kakinya. Membawa serta Anggia yang telah
berubah menjadi gadis cantik yang beranjak remaja. Anggito ingin memperkenalkan
Anggia pada tanah Gayo. Tempat dia
pertama kali memperdengarkan tangisannya. Diantara semilir angin Takengon dan lantunan syair Didong yang mendayu-dayu.
Anggito menanti lambaian tangan Takengon untuk membawanya kembali ke tanah harapan. Kembali membaui
harumnya aroma bunga kopi yang menyesakkan kepala. Bercengkrama diantara riak
air danau yang menyejukkan jiwa. Kapankah itu terjadi? Hanya alam semesta yang
bisa menjawabnya.
I love my Hopeland…. Takengon….
No comments:
Post a Comment